Senin, 19 Agustus 2019

Hari Lahirnya buku "Kita, Dua Kurva Saling Terbuka"


Kita hidup di ruang yang gempita. Gaduh dan penuh raung informasi. Bertebaran data bahkan tak semua dapat kita tangkap. Percakapan ada di mana-mana dan kapan saja. Seorang yang duduk di warung kopi dan berbincang dengan teman-temannya bisa saja ia saat itu juga sedang berbincang dengan teman-teman lain di jejaring sosialnya. Percakapan nyata lalu maya, maya kembali ke nyata, bahkan sesekali bercakap dalam waktu yang sama. Hanya mata yang berperan ganda, sesekali menatap lawan bicara detik yang lain ia membaca percakapan di layar gawainya. Demikianlah kita di hari-hari belakangan ini.

Dalam riuhnya percakapan, potensi perseteruan itu tentu sangat tinggi. Karena beda itu keniscayaan. Konflik dalam bincang adalah wajar, selama tidak memicu perselisihan yang telah berbumbu kebencian dan ekspresi perlawanan baik dengan fisik ataupun hanya kata-kata. Semestinya hal ini tidak terjadi.

Untuk menghindari perselisihan yang tidak perlu, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Salah satunya adalah kita “membawa gelas yang tak penuh” sehingga bersiap untuk menerima beda pandangan dari lawan berbincang kita, dengan istilah lain jadilah “kurva yang saling terbuka”. Terkadang ada ketakutan “membuka” diri, karena khawatir kebenaran yang telah diyakini akan terganggu. Namun hal ini sebenarnya tak perlu. Karena perbincangan yang sehat, adalah pintu ilmu dan pengetahuan. Mestinya dalam bincang kebenaran yang kita yakini akan terus teruji dan justru semakin menggumpalkan keyakinannya.

Seperti yang dicanangkan pemerintah di tahun ini, SDM unggul Indonesia Maju, maka tema unggulnya SDM ini layak sering kita perbincangkan. Bicara tentang potensi manusia maka kita tepat jika lalu berbincang tentang “cara berpikir”. Pembelajar sejati lahir dari tradisi belajar yang sehat, tradisi belajar yang sehat lahir dari tradisi perbincangan informal di warung-warung kopi yang terbuka, demokratis dan egaliter. Seperti membangun himpunan dari banyak kurva-kurva yang sama terbuka. Pikiran-pikiran sehat dan segar akan saling berkelindan, menciptakan pemahaman yang hangat dan harmonis. Mereka hidup sakinah di rumah pikiran bangsa kita.

Akhirnya pada tanggal 18 Agustus 2019, satu hari setelah perayaan HUT RI yang ke 74 secara resmi buku kumpulan puisiku dengan judul "Kita, Dua Kurva Saling Terbuka" terlahir di muka bumi. Ini adalah buku perdanaku, walau terlambat 4 tahun dari waktu yang pernah aku citakan, bahwa pada usia yang ke 40 tahun aku bisa terbitkan satu buku. Dan saat mulai diterbitkannya buku ini, usiaku sudah hampir 44 tahun. Buku ini mewakili ide-ide keterbukaan dalam pemikiran yang menjadi bekal dalam menjalani proses belajar yang panjang, bahkan dalam bincang-bincang di warung-warung kopi. Semoga bermanfaat.

bercakap itu seperti bersantap
pemenuhan atas nutrisi hati juga nutrisi diri
karena kita tak bisa sendiri
jika pun sendiri, kita tetap butuh bercakap
meski bercakap pada diri

percakapan intim tentang apa pun
tentang ketakutan yang tak terdefinisi
tentang nada jiwa yang terlewat
hingga biramanya tersendat

interlude yang belum waktunya
atau kau ingin bercakap dengan kalimat bersayap
sehingga makna kita biarkan muram di sudut buram
dan kita tenggelam dalam metafora

antara kita hanya persepsi yang mungkin tak sama kita mengerti
duduk saja kita berdua dalam remang yang tak berkesudahan
jika letih, tatap saja mataku
jendela jiwa ini tak pernah berdusta
meleburlah kita sebagai kurva yang saling terbuka.

Poetoe, 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...