Kita hidup di ruang yang gempita.
Gaduh dan penuh raung informasi. Bertebaran data bahkan tak semua dapat kita tangkap.
Percakapan ada di mana-mana dan kapan saja. Seorang yang duduk di warung kopi
dan berbincang dengan teman-temannya bisa saja ia saat itu juga sedang
berbincang dengan teman-teman lain di jejaring sosialnya. Percakapan nyata lalu
maya, maya kembali ke nyata, bahkan sesekali bercakap dalam waktu yang sama.
Hanya mata yang berperan ganda, sesekali menatap lawan bicara detik yang lain
ia membaca percakapan di layar gawainya. Demikianlah kita di hari-hari
belakangan ini.
Dalam riuhnya percakapan, potensi
perseteruan itu tentu sangat tinggi. Karena beda itu keniscayaan. Konflik dalam
bincang adalah wajar, selama tidak memicu perselisihan yang telah berbumbu
kebencian dan ekspresi perlawanan baik dengan fisik ataupun hanya kata-kata.
Semestinya hal ini tidak terjadi.
Untuk menghindari perselisihan
yang tidak perlu, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Salah satunya adalah
kita “membawa gelas yang tak penuh” sehingga bersiap untuk menerima beda
pandangan dari lawan berbincang kita, dengan istilah lain jadilah “kurva yang
saling terbuka”. Terkadang ada ketakutan “membuka” diri, karena khawatir
kebenaran yang telah diyakini akan terganggu. Namun hal ini sebenarnya tak
perlu. Karena perbincangan yang sehat, adalah pintu ilmu dan pengetahuan.
Mestinya dalam bincang kebenaran yang kita yakini akan terus teruji dan justru
semakin menggumpalkan keyakinannya.
Seperti yang dicanangkan
pemerintah di tahun ini, SDM unggul Indonesia Maju, maka tema unggulnya SDM ini
layak sering kita perbincangkan. Bicara tentang potensi manusia maka kita tepat
jika lalu berbincang tentang “cara berpikir”. Pembelajar sejati lahir dari
tradisi belajar yang sehat, tradisi belajar yang sehat lahir dari tradisi
perbincangan informal di warung-warung kopi yang terbuka, demokratis dan
egaliter. Seperti membangun himpunan dari banyak kurva-kurva yang sama terbuka.
Pikiran-pikiran sehat dan segar akan saling berkelindan, menciptakan pemahaman
yang hangat dan harmonis. Mereka hidup sakinah di rumah pikiran bangsa kita.
Akhirnya pada tanggal 18 Agustus 2019, satu hari setelah perayaan HUT RI yang ke 74 secara resmi buku kumpulan puisiku dengan judul "Kita, Dua Kurva Saling Terbuka" terlahir di muka bumi. Ini adalah buku perdanaku, walau terlambat 4 tahun dari waktu yang pernah aku citakan, bahwa pada usia yang ke 40 tahun aku bisa terbitkan satu buku. Dan saat mulai diterbitkannya buku ini, usiaku sudah hampir 44 tahun. Buku ini mewakili ide-ide keterbukaan dalam pemikiran yang menjadi bekal dalam menjalani proses belajar yang panjang, bahkan dalam bincang-bincang di warung-warung kopi. Semoga bermanfaat.
bercakap itu seperti bersantap
pemenuhan atas nutrisi hati juga
nutrisi diri
karena kita tak bisa sendiri
jika pun sendiri, kita tetap
butuh bercakap
meski bercakap pada diri
percakapan intim tentang apa pun
tentang ketakutan yang tak
terdefinisi
tentang nada jiwa yang terlewat
hingga biramanya tersendat
interlude yang belum waktunya
atau kau ingin bercakap dengan
kalimat bersayap
sehingga makna kita biarkan muram
di sudut buram
dan kita tenggelam dalam metafora
antara kita hanya persepsi yang
mungkin tak sama kita mengerti
duduk saja kita berdua dalam
remang yang tak berkesudahan
jika letih, tatap saja mataku
jendela jiwa ini tak pernah
berdusta
meleburlah kita sebagai kurva
yang saling terbuka.
Poetoe, 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar