Minggu, 16 Agustus 2009

bersama nafas-ku

ini tentang aku yang menjelma menjadi genangan
genangan air mata pada nampan di suatu sajian makan malam yang anggun;
hanya genangan saja, memantulkan setiap detail kejadian;
menangkap setiap penggal kata,
ada dunia yang mengerdil menjadi apartemen,
ada sayang yang moksa oleh cita-cita,
ada kepedihan yang ranum,
ada tangisan anak yang berharap permen “saat itu juga”
ada cinta dalam dada,
ada tatapan hangat namun tak berbalas,
ada canda yang terdengar sebagai sembilu; merobek hati,
mengubah kenangan menjadi monster

pada jingga itu terlemparlah hati seolah sampah,
pada tonggak tertambatlah ingatan tentang dosa –mengekal, menggumpal dalam kerak otak-

bayangan itu berlarian, terbang menuju awan
ketukan pintu, batuk tertahan, debar itu, sekelebat gelap,
dan ombak;
menampar dinding jiwa; dalam; sangat dalam
ciptakan ngilu di setiap sendi

bersimpuh, tertunduk dalam
upaya jiwa saksikan diri berserakan di lantai sejarah

senyuman, kata-kata, pura-pura dan segala tentang gempita
biarlah moksa
lebur
melumpur
dalam detak irama hati
yang nyaman, seirama dengan detak semesta

masa lalu bukan untuk ditinggalkan
melainkan beranjak bersama, menuju matahari pagi
menuju telaga biru, tenang, dan sampan elok menanti nanti- kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...