Jumat, 04 Juli 2014

mas Joko di mataku....

Awalnya memang sepak ternjangnya mengagumkan. Terlihat sangat merakyat, dekat dan hangat. Penampilannya sederhana. Komunikasi bagus, beda. Kata-katanya tak banyak bumbu. Terlihat informal. Cengengesan. Dengan cepat aku putuskan, aku menyukainya. Lalu dimulailah petualanganku di dunia maya, berburu berita tentangnya. Dan memang banyak sekali informasi tentangnya. Hampir semua "Youtube" tentangnya aku tonton. Pernah suatu malam, aku menontonnya sampai fajar tiba. Perjalanan yang memukau, dari walikota Solo hingga jadi Gubernur DKI Jakarta.

Perlahan-lahan kekaguman itu berubah. Awalnya memang dari perbincangan dengan beberapa teman yang aktif di pemda tempat dia berdinas. Agak kaget juga, ternyata justru di internal cerita tentang dia berbeda. Aku pikir, mungkin temanku ini masih belum siap direformasi sementara pak Gubernur sudah berubah paradigmanya tentang birokrasi. Namun hasil perbincangan itu lah yang memancing aku belajar lebih jauh tentang cara ia memimpin organisasi. Ternyata memang tak banyak janji-janji politik waktu itu yang saat ini sudah dibuktikan.

Apalagi setelah ada beberapa informasi tentang proyek pencitraan dari orang-orang di belakang dia. Awalnya pun aku menyangkal, jika memang ada yang bermain di belakang dia tapi tak akan jadi jika sosok dia secara pribadi tidak mendukung. Jadi ingat teori Kapasitas dan Performance. Semestinya Performance itu dibangun dari kapasitas diri, bukan sebaliknya performance dibuat untuk memoles kapasitas diri.

Semuanya mulai nampak jelang pilpres. Banyak hal yang terkesan dipaksakan. Bagaimana cara dia menggampangkan masalah ekonomi dengan sekedar kartu. Secara ilmu marketing itu menjual, memukau rakyat kecil. Tapi tidak mendewasakan masyarakat kita. Masalah anggaran seperti dikesampingkan. Seolah-olah keuangan negara kita tidak ada masalah. Padahal pembagian kartu sehat di Jakarta saja sudah menimbulkan banyak masalah.

Menurutku dia memang hebat sebagai manajer penyelia. Manajer pengawas. Mandor. Kemampuan dia dalam mengawasi kinerja patut diacungin jempol. Walaupun blusukan itu sebenarnya indikasi tidak sehatnya hubungan atasan dan bawahan. Karena mencerminkan ketidakpercayaan atasan terhadap bawahan. Jika bicara level strategik rasanya (maaf) dia sering terlihat terlalu naif.

Entahlah.... tapi ada satu pelajaran berharga. Bahwa, perubahan memang tak bisa kita titipkan pada sosok artis yang hanya hebat untuk dicitrakan saja. Kita butuh perubahan yang sistematik. Jika dia menang dalam pilpres ini, akan seru secara dramatis... seolah-olah ada tokoh yang terlahir dari rakyat, dan muncul memimpin negeri. Terlihat keren, padahal justru akan berbahaya. Karena kemenangan itu hanya membuktikan bahwa sistem bisa kalah oleh aksi-aksi spontan. Aksi pencitraan itu terbukti berhasil, mengapa harus katakan tak ada bagi-bagi kursi padahal di belakang justru berebut dengan cara yang aneh. Mengapa juga harus berpura-pura "ora mikir" namun ternyata tetap maju juga dalam pencalonan. Mengapa harus pilih solusi kartu-kartu yang kenyataannya akan menjerumuskan kita dalam kebangkrutan, hanya demi langkah yang terlihat sok pahlawan di mata rakyat kecil....

Bisa jadi cara pandang mikroskopik yang terbiasa "Zoom in" menyorot sudut-sudut sempit saja, akan membawa bangsa ini membentur-bentur, menabrak dan mungkin saja terjatuh dalam kubangan kesalahan yang sama seperti pemilu-pemilu sebelumnya.

Entahlah.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...