Janin malam menggumpal di langit gelap,
Perlahan meliuk mengunyah sisa cahaya mentari,
Langit merah tersudut.
Menepi di ujung cakrawala....
Pada tawa mana aku tawan kan kecewa,
Pada warta mana aku candai luka
Tak ada alasan
Tak ada hujjah
Semestinya tak ada.
Pengingkaran.
Mengapa pula api kecil itu tak kau akui, mengapa juga percikan bara ini tak kau iyakan...
Mungkin ini tentang gempita harga diri,
Bangunan tanpa sebab yang terlahir dari umur yang menimbun.
Padahal tua tak lalu pasti dewasa bukan?
Sepertiku di depanmu, membocah tanpa malu.
Dan bocah tua itu, duduk di meja makan dalam senja.
Sajian makan dan secangkir kopi hitam. Serupa americano kita dulu, namun ini beda.
Karena detik menyendiri kini, terhimpit di sela jarum menit dan jarum jam.
Seharusnya tersadar, bahwa jam menit dan detik tak berpihak padaku, pada rasa yang usang....
Timbun sajalah dulu...
Dan aku melengkung bungkuk, menahan beban yang nyaris meledak.
Bekasi, 22/01/2017
Poetoe
Senin, 30 Januari 2017
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...
-
Menjadi orang baik itu sederhana: Jangan marah. Jangan sakiti orang lain, buat orang di sekitar kita bahagia. Perbanyak menolong orang,...
-
BAB 1 CAHAYA (Hari ke-1) Kebenaran sebagai Aksioma, Kebenaran seperti a ksioma, merupakan sebuah pernyataan yang sudah pasti kebenaran...
-
Belajar beberapa hal di beberapa hari ini. Tentang perencanaan yang matang atas segala sesuatu, bahkan gerak hati. Hehe.. aneh memang, gerak...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar