Senin, 26 April 2010

Tentang Harga Diri;


(percakapan dengan awan, bulan, ombak, dan suara di rongga kepala...)

Awan putih tergores indah, pada kanvas biru langit. Hangatnya air laut, juga riaknya menggoda punggung dan kakiku. Irama yang ada, justru hanya dengung karena sebagian air itu menutupi gendang telinga, namun sayup terdengar suara di rongga kepalaku; dan entah kenapa, ia bercerita tentang ketulusan, juga tentang belajar bagaimana menjalani hidup yang sepi dari kata ingin. Ia juga bercerita bagaimana badai amanah itu yg terus datang menghadang, dan layar jiwa kita tak henti-henti berjuang menunaikannya.

Di sisi langit yang lain, ada bulan pucat. Ia terbit terlalu cepat, karena matahari senja belum juga tenggelam. Walau terasa “malu-malu”, ia tetap saja menambah keindahan suasana. Perlahan, ia bergumam. Seolah berharap bisa ikut bercakap-cakap dengan kami, dan awan yang merasa sebagai moderator, mengangguk perlahan, membiarkannya bulan bergumam lebih lama. Ia bercerita bagaimana rangkaian kata “harga diri” itu lahir. Mengapa banyak manusia justru menggunakan dua kata ini sebagai alasan sakit hatinya? Atau justru menjadikannya alasan ketika mereka marah?

Aku mulai terusik. Perbincangan tentang harga diri ini, menjadi teramat menarik. Bagaimana seharusnya kita memaknainya? Adakah dalam salah satu tugas hidup kita itu membela harga diri? Harga diri yang macam apa? Kita seakan sepakat, jika kita diludahin orang tepat di muka kita, maka menjadi sah-sah saja bagi kita untuk menampar sang pelakunya, menghajarnya, atau menginjak-injak mukanya di depan umum. Tentu dengan dalih harga diri. Walaupun setelah berlalunya waktu, seringkali kita tersadar, respon kita tersebut tidak membuat harga diri kita di mata orang lain meningkat. Mungkin hanya semata membuktikan kepada orang-orang, bahwa kita juga bisa marah. Jika kita mencari literatur sejarah, bagaimana Rosul begitu ringan hati untuk terus membersihkan kotoran Unta yang dilemparkan ke bajunya setiap ia berangkat ke masjid; dan itu dilakukan berulang-ulang. Tidak ada lemparan balasan, atau suara kasar, atau tindakan marah lainya yang sangat mungkin kita lakukan jika mendapatkan perlakuan demikian, yang ada justru tatapan sayang penuh perhatian sang Rosul, ketika menengok si Pelaku pelemparan kotoran unta itu yang sedang terbaring sakit.

Lalu harga diri macam apa, yang selama ini kita gunakan sebagai alasan “sakit hati” kita? Atau kita jadikan latar belakang ketika kita memutuskan melakukan “marah” yang sah? Jangan-jangan kita yang salah menghargai diri kita, atau paling tidak kita yang salah memilih sudut pandang dalam mensikapi dua kata “harga diri” itu.

Bulan, awan, dan riak ombak menampar masih setia menemaniku. Mereka teman yang baik dalam perbincangan. Mereka lemparkan tema, lalu membiarkan aku mencercau sendiri, dan mereka tetap setia menjadi pendengar. Terima kasih, teman.

Pantai Bulakan, April 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...