Selasa, 22 November 2016

Permaian Dunia

Ini permainan
cara pandang menjadi kunci
kemampuan bedakan kesementaraan dan keabadian adalah penentu
ternyata di dunia memang isinya kesementaraan
kepedihan adalah keengganan memahami bahwa tak ada abadi di muka bumi
kehilangan melukakan, namun yang lebih perih adalah rasa tak mau kehilangan
dan akhirnya justru nalar yang dicibir....
dipersalahkan atas perannya membangunkan kita dari mimpi indah.

Demikianlah....

Pancoran, 23/11/2016
Poetoe

ABG lagi

Terlempar lah
pada pusaran waktu
liat kita menabik nabik
terseret sajalah

Jarak atas tempat atau waktu
apatah beda

Hati bergerak detak
seolah medan magnet
berharap berdekat
namun apa daya

Berdiri saja
berdiam atas kegalauan
karena mendekat pun hanya bimbang yang kan ditemui
lalu sumbang lah angin yang menampar
lalu kering lah nafas yang terhirup

Demikianlah
waktu mengguruiku
tentang lalu
tentang keterlambatan
tentang kesalahan membaca firasat

.

Pancoran, 22/11/2016
Poetoe.

PAGUD1PA

Dua hari ini seru,
Konggres mungkin kurang sukses. Ada kejanggalan dan kekecewaan.
Tapi langkah Pagud1pa benar benar membanggakan.
Belum resmi terlahir, namun suasana kekeluargaannya terasa pekat.

Semua bersemangat ambil bagian, mungkin memang seharusnya demikian sebuah paguyuban.
Terlahir dari ikatan informal, bergerak atas dasar kerelaaan, bersemangat untuk berpartisipasi, dan sibuk untuk berbagi arti.

Terima kasih teman teman, kalian telah mengisi Rumah Pagud1pa hari ini dengan segenap rasa.

Jurangmangu, 13/11/2016
Poetoe'94

Thowaf

Saat berdesakan dalam ibadah thowaf kita memahami betapa pribadi kita melebur menjadi satu bersama gelombang putih pakaian ihrom itu. Bahkan langit pun seolah bersenandung, pula angin, pula cahaya matahari.

Dan doa yang selama ini demikian personal itu tiba-tiba terhenti. Malu. Betapa sedikit energiku untuk orang banyak. Karena tersibukkan aku oleh urusan pribadiku saja.

.........

Bis kota dan air mata.

Bis kota dan air mata. Sejak dulu ini sering terjadi. Kejadian di sekitar kita banyak yang mengundang air mata. Tak semua tentang kesedihan, karena terkadang tentang haru.

Seperti pagi ini, dua orang nenek mengamen di bis, salah satunya bahkan terihat seperti bencong. (Maaf jika aku salah) Dandanan mereka tebal, lagu yang mereka nyanyikan dangdut. Nenek yang menyanyi sudah renta, tangannya harus berpegangan pada tiang atau kursi penumpang. Mendengar dan melihat mereka menyanyi, membuat aku terlempar ke dunia yang cekung. Seperti ada dalam nampan yang berisi adonan kesedihan. Benar mungkin saja mereka bahagia, tapi tak bisa disangkal ini adalah masalah. Seorang setua dia tak seharusnya mengamen dan berdandan seperti itu. Ini tontonan atas luka kita sendiri.

Lalu diam. Aku terpejam. Tak terbayang apa yang bisa aku lakukan. Mungkin butuh waktu,butuh teman untuk berbagi isi hati dan atur rencana. Tapi paling tidak, pagi ini aku hanya menangis diam diam.

Bekasi-Jakarta, 08/11/2016
Poetoe.

To be or not to be.

Hidup sebagai rangkaian pilihan seringkali kita persulit dengan membenturkan dua titik ekstrim. Hitam atau putih. Iya atau tidak sama sekali. Seperti tesis lalu anti tesis, melupakan kelanjutannya yaitu sintesis.

Saya teringat almarhum Bapak. Seorang pekerja dakwah, yang awalnya ceramah dari mimbar ke mimbar, namun di penghujungnya lebih memilih jalan kultural, membuka perbincangan informal dengan kemasan bercanda. Materinya sama, terkadang bahkan tema bercanda Bapak itu muatan aqidahnya pekat. Mentertawakan ketakutan antar manusia, disiplin yang tak semestinya pada kegiatan pramuka misalnya. Sepertinya Bapak menyadari bahwa mimbar hanya bisa mendefinisikan mana benar mana salah. Jika tak lalu dilanjutkan dengan sarana lain, maka ummat hanya diberi pilihan yang kaku. To be or not to be. Bisa jadi sebagian mereka memilih tidak sama sekali, lalu berpaling menjauh. Pada sarana lain itulah peran yang diambil Bapak. Mediasi, saat ummat mulai tertarik pada jalan Islam.

Saya belajar banyak dari Bapak. Kemasan dakwah yang terlihat tetap nyaman. Ada beberapa tetangga dari keyakinan yang berbeda, tetap nyaman berdiskusi agama dengan Bapak. Tak ada lonjakan emosi. Suara keras berapi-api. Justru seringkali tertawa-tawa. Hasilnya paling tidak, RT tempat yang dia pimpin sampai akhir hayatnya adalah lingkungan yang damai. Penuh tepa selira, dengan kajian di Mushola Al Ishlah markas dakwah RT kami tetap rutin dilaksanakan.

Demikian, pagi ini saya luangkan waktu khusus untuk mengenang almarhum Bapak, terinspirasi mas Maulana cucu pertamanya yang rajin menghitung hari menuju 1000 hari Tatungnya meninggal.

Bekasi, 08/11/2016
Poetoe.

Orang-orang Pergerakan

Dan ini bukan tentang aku, karena aku hanya duduk di pinggir sejarah dan mencatat yang memang perlu dicatat. Ini tentang sekumpulan orang muda yang serius membangun kapasitas internal mereka. Saling membantu dan menjaga satu sama lain. Ikatan hati mereka teramat dalam. Tak sekejap pun mereka biarkan teman lainnya terluka atau tersakiti. Mereka bukan sekumpulan wajah garang, karena senyuman adalah karakter dasarnya.

Tentang visi dan misi hidup mereka tak lagi risau, karena mereka yakin visi dan misi itu telah ditetapkan Sang Pencipta. Jadi mereka fokus pada cara, dan strategi, bagaimana mereka bisa menjadi lebih bermanfaat. Konsentrasi pada produktivitas.

Setiap hari mereka bergerak. Lakukan kebaikan dari hal hal terkecil. Menebar senyum, menebar kebaikan, berbagi makanan, berbagi kemudahan.

Saat dunia sibuk membangun citra, mereka justru sibuk membangun pemahaman. Kapasitas internal lebih utama dari pada performance.

Ah... Mereka luar biasa. Aku hanya mengagumi diam diam. Berharap menjadi bagian dari mereka. Walau hanya sebagai cacing tanah, di bawah kaki mereka.

November 2016
Poetoe.

Fithrah Komunal

Dan seperti itulah waktu mengajarkan pada kita tentang fithrah komunal kita. Perasaan bahagia saat bergerak bersama. Dengan respon yang bersegera sambut panggilan. Tak mudah membangun rasa itu. Butuh pemahaman yang utuh dan ketaatan yang sempurna.

Caranya harus sabar. Paling tidak secara rutin mengulang ulang FirmanNya dengan lesan maupun ingatan. Lalu mentadaburi secara sabar, berdasar sunnah Nabi dan kisah sahabat. Panduan tetap gunakan nalar. Karena yang kira bangun adalah it tiba' (mengikuti dengan kesadaran) bukan taklid (yang membuta).

Demikianlah ketaatan memiliki ruang penting dalam membangun ketenangan. Dan saat ada ancaman, sekeras apapun, jawabannya adalah senyuman. Karena tak lagi ada yang layak takut dipertaruhkan saat kematian pun dikatakan dengan imbuhan "hanya"

November 2016
Poetoe

Bukti Iman

Dan demikianlah bukti iman itu dipertaruhkan,
Cinta kah atau hanya mengaku saja
Atau selama ini hanya ikut mengikut

Tiada pasti,
Karena gerak hati tak mudah terdefinisi
Hanya bisa kita tangkap tanda dan bekasnya saja....

Terkadang kita justru menepi, berdalih nalar yang lebih panjang...
Bersembunyi dalam analisa
Kepengecutan yang berwibawa.

Begitulah di setiap akhir sebuah aksi,
Selalu ada "diam" yang wingit,
Renungan sederhana,
Apakah hati kita lulus atau masih lalu harus mengulang....

Semoga.

Mutiara Gading Timur, 06/11/2016
Poetoe

Sakit

Ini memang cara Dia berbagi sayang, mengirimkan sakit yang membatasi agar aku lebih fokus atas hal hal yang lebih penting.

Karena ternyata keluangan itu terkadang melenakan, membahayakan....
Sedangkan keterbatasan itu seringkali menyelamatkan.

Bumyagara, 5/11/2016
Poetoe.

Rindu Saja

Seperti hukum sebab akibat,
setiap hal seolah harus ada sebab mendahuluinya...
beberapa dari kita memanggilnya dengan sebutan alasan.

Memang alasan menjadi lebih rendah dari sisi makna,
seperti kata "mencari alasan" atau "banyak alasan"

Bagaimana dengan rasa?
banyak rasa yang tak terdefinisi,
juga tak ditemukan apa sebabnya...
seolah hukum casualitas itu tak terbukti.

Seperti rindu yang tak bermula dari sebab,
iya.

Rindu saja.

Tugu Pancoran, 01/11/2016
Poetoe.

yang tertinggal

Ada yang terkunci,
tertinggal di belakang almari
badai yang tercatat dengan gurat ukir yang dalam.
Walau waktu yang meringkus kita,
dalam ketergesaan.
Geliat menegang. Ruh!

Ada yang tertinggal,
di setiap senti dinding.
Menangkap setiap kerjap kita,
merekam setiap helanaan nafas itu.
Terburu buru, senggal memburu.
Detik diketik keras, tusts waktu menggerus ingatan. Duh!

Ada yang kutanam paksa,
pada relung telinga, terkemas dalam nada.
Riang atau pedih itu abaikan saja.
Aku hanya mau menanam kenang.
Maka relakan saja. Gumpal merinduh. Fuih!

Jakarta, 29/10/2016
Poetoe.

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...