Kamis, 29 September 2016

Manajemen

Ada dua pilihan... Lawan arus atau ikuti arus.
Keduanya adalah piranti kita untuk memainkan nada hari, juga hati.

Melawan arus itu potensi konflik, tapi bagus untuk mendinamisasi. Sedang ikut arus itu bagus untuk hindari konflik, namun menjadi kehilangan momentum untuk lakukan terobosan.

Dalam kisah para gengster, butuh pria sisilia yang berani ambil risiko di depan juga pria yahudi yang rapi, hati hati sebagai orang kedua.

Jelang Bekasi, 27/07/2016
Poetoe.

Tuntaskan Rindu

Baiklah, aku catat saja
bahwa hari ini matahari membunuh rembulan
namun ia tak mati
bahkan membalas hingga malam
matahari tak berdaya.

Baiklah, aku berdehem saja
saat cinta meronta dan rantai waktu itu terurai
sengatan lebah waktu membengkakkan harga diri
Cinta tak berdaya.

Palu terayun, dan tangan terborgol
jeruji terkunci
hati terdiam
mati pun tak terasai.

Ayolah.... Sini.
Aku basuh kamu dengan pengakuan ku.
Aku lemah.
Aku salah.

Maaf.

Antara Jakarta Bekasi, 27/07/2016
Poetoe.

gung

Jika kanvas ini terlanjur tersiram cat,
Lalu mau apa?
Padahal belum seberapa

Handuk basah
Sisa tanah di lantai
Dosa yang dirindu
Lalu mau apa?

Padahal mungkin esok terhenti.

Basuh kening
Nada yang hening
Aku sendiri
Kamu pun sendiri

Kelak.

Di hari setelah bumi beradu dengan langit,
Tak lagi ada kita.
Tak ada lagi jumawa.

Air mata. Saja.

Transjabodetabek, 27/07/2016
Poetoe.

Sadar Tua

Mungkin karena usia, aku menjadi lebih serius menikmati setiap rasa sakit dalam tubuh. Seperti nyeri dalam lambung, kesemutan di kaki yang seperti riak gelombang, menampar nampar lembut. Atau sakit kepala yang terlahir karena nahan kantuk, denyut kepala yang kadang perih namun indah sebagai komposisi hari.

Di bis, penuh, tak ada kursi kosong, aku putuskan duduk di lantai. Nikmati kelelahan kaki menahan tubuh aku pindahkan ke panasnya pantat nikmati deru mesin dan kesemutan pada kakiku yang terlipat lama.

Kombinasinya menjadi semakin menarik, karena dalam duduk di lantai itu aku jadi sempat membaca. Jadi nutrisi sel sel kelabu benakku tercukupi.

Ups... Semakin banyak penumpang berdesakan berdiri di sekitarku, sampai ada uang dua ribuan jatuh mengenaiku. Sudah aku putuskan kembali berdiri.

Selamat pagi. Bernas pagiku.

Alhamdulillah....

Mimpi yang detail

Terbangun dini hari, setelah bermimpi "detail" seperti biasa. Dalam mimpi itu, aku bersama ibu dan almarhum bapak, mengantarkan mereka menghadiri satu pengajian. Namanya juga mimpi, kami bertemu dengan teman-teman kantor, bahkan ada adik kelas kuliah dulu yang lama sekali tidak ketemu secara nyata. Dalam mimpi tersebut aku perkenalkan bapak dan ibu ke teman-teman. Mereka bahagia.

Terpikir banyak hal setelah terbangun. Jadi mengingat ingat kembali pesan bapak dan ibu, rasanya masih ada yang aku lewatkan.

Dan bagaimana pun juga, mimpi bertemu mereka menjadi sarana pengingat untukku agar tak lupa doakan mereka berdua.

Bekasi, 26-07-2016
Poetoe

Nyanyi sepi

kita tak menyangka, bahwa kita sudah sampai pada tepi tiang birama
saat sunyi kuasai diri, menghentikan rangkaian nada yang riuh sedari kemarin....

kita tak menduga, bahwa haluan kapal telah menyentuh tepian dermaga, namun bukan di pelabuhan yang kita inginkan
lalu seorang penyair memanjat tiang layar dan berseru
"Tak semua harapan itu dapat kita temukan di buku Kenyataan..."
....
tak ada tepukan tangan, tak ada sorak sorai.
sepi saja.

dan kita hanya memandang saja, pandangan mata yang tak memandang apa apa sebenarnya,
hanya memandang pada diri saja
mungkin memang bukan saatnya saling menunjuk....

dan.... "Cut..."
Sang Sutradara hentikan fragmen ini secara paksa.

Semakin Sunyi.

Pancoran, 29/09/2016
Poetoe

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...