Sabtu, 11 Juni 2016

terulàng oleh ingatan

Pagi ini, kau bertanya mengapa tiba tiba daguku mengeras.... aku lalu tersenyum. Bukti bahwa kau memang pembaca terbaik atasku. Tenang saja, tidak ada masalah kok. Aku hanya terjebak dalam keindahan pagi, yang indahnya membuat aku tak bisa menahan diri untuk menulis puisi. Seperti puisi yang pernah aku tulis di suatu pagi yang nyaris sama dengan pagi ini, di Utan Kayu, saat aku belum memilikimu. Sayang puisi itu aku lupa simpan di mana, tapi yang masih aku ingat adalah suasana pagi yang aku ikat dalam bait-baitnya, ada aroma cucian baju, genangan air di gang sempit, dan lantunan sholawat nabi dari anak anak sepulang dari jamaah solat shubuh. Ramadhan, yaa saat itu juga di bulan Ramadhan. Ah.. ingatan memang cekatan menarik kita ke belakang. Atau ini memang sebuah pengulangan? Karena pagi ini aku sebahagia pagi waktu itu. Ada pula aroma cucian, juga genangan di gang sempit. Langit juga demikian indah, awan yang gagah itu menyembunyikan mentari pagi. Bedanya tentu, saat ini ada kamu di belakangku. Kita berkendara motor, dan nafasmu terasa mengeja jengkal punggung leherku.

Aih, mengapa jadi sangat melo pagi ini? Bukankah ini Ramadhan, bulan yang semestinya kita isi penuh dengan ibadah dan hal-hal berarti. Hmmm... mungkin demikian pula cara aku memberi arti pada setiap detil pagi ini.  Ahai, hati membela diri.

Sudah ah. Aku lanjutkan saja. Tunggu saja, mungkin masih ada roman picisan di siang nanti. Bisa saja.

Transjabodetabek, 10/06/2016
Poetoe.

Jumat, 03 Juni 2016

doa dalam jeda

Mungkin justru di sini kita bertemu,
pada jeda,
pada interlude,
saat semua nada beristirah,
saat hanya dengung yang memenuhi birama.

Karena dalam sepi, banyak yang terlewat kembali nampak,
yang tak terbaca kembali tereja,
yang terabaikan kembali terperhatikan.

Dan masa jeda ini bahkan bukan saat terlelap dalam tidur,
karena mimpi ku pun terlalu gaduh,
terlalu riuh oleh cerita cerita aneh...

Jeda ini hanya saat duduk diam
selepas tengah malam
mengunyah sunyi perlahan
menikmati gurihnya detik yang menitik
dalam rapal doa terbata bata.

Ada aku, kamu, dia, mereka, kita.
Demikianlah, kueja jeda ini bait demi bait.

31/05/2016
Poetoe.

jelang kultum

Tugas sederhana, hanya menyampaikan.
Namun ternyata berat. Karena yang harus disampaikan ini tausiyah, berisi firman Tuhan.

Ada gemetar dalam dada. Bukankah Dia juga mengatakan bahwa ".... mengapa kau mengatakan apa yang tak kau lakukan? Dosa yang besar jika kau mengatakan apa yang tak kau lakukan."

Namun obatnya adalah, firman-Nya yang lain bahwa salah satu yang menyelamatkan dari kerugian itu adalah saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Ayat inilah yang membuat aku nekat memberanikan diri untuk tetap menyampaikannya.

Dan tersampaikanlah. Walau tutur kataku tak terstruktur. Entah materi itu tersampaikan dengan baik atau tidak. Namun yang pasti setelahnya pun aku tetap gemetar. Sakit kepala datang tanpa permisi.

Memang tak mudah memikul beban ini. Menjadi pendosa namun tetap berbincang tentang kebenaran. Untunglah, saat dini hari terbangun, teringat pesan orang tua "letakkan. Pasti kita tak lagi ĺelah terbebani."
Aku letakkan perlahan berkarung karung keluh kesah dan sesal itu. Aku serahkan saja pada yang maha perkasa.

Ternyata memang, mengakui kelemahan itu melegakan, mengakui kerendahan itu menenangkan. Dan lalu terbiar aku dalam kerendahan itu, menghiba dan memohon.

Bekasi 30/05/2016
Poetoe

komposisi keterasingan

Terasing itu tak saling kenal
Berjarak
Dan mungkinkah berjarak itu bisa bersama gubah satu komposisi?

Bermainlah kau dengan iramamu, nada yang meliuk tajam...
Senyum namun juga air mata,
nyanyian namun sebenarnya tangisan.
Luka yang kau paksa enyahkan.

Dan aku tetap di sudut,
dalam nada rendah, menjaga birama.
Sesekali salah, dan kau bergegas menoleh
melototiku.

Walau pernah terjerembab dalam kubangan yang sama, kita tetap saling jaga irama.
Demi komposisi lagu ini. Lagu panjang ķehidupan
yang kelak terhenti oleh mati.

Bekasi, 30/05/2016
Poetoe

bahaya bermain di tempat tinggi

Mengapa saat kita kecil, kita tak boleh bermain di tempat tinggi, takut jatuh ķata orang tua kita.

Demikian halnya sekarang, saat tua pun kita dilarang tinggi hati dan merasa tinggi, karena saat jatuh, pasti sakit. Seorang yang rendah hati pastilah sulit sakit hati.

Dan memang tak ada yang bisa menjatuhkan orang yang sudah tiarap.

Poetoe. 30/05/2016

kredo kesunyiaan

dan benar lah memang sunyi adalah puncak keindahan atas bunyi,  demikian halnya kosong adalah kunci keseimbangan dalam ilmu bela diri,

dan ikhlas adalah kunci suksesnya amal,
ikhlas itu sunyi dan kosong.

 Bekasi, 24/05/2016
Poetoe

hari kebangkitan nasional

Hari ini aku ikut upacara. Setelah sekian lama tak melakukannya. Aku menikmatinya.

Hari kebangkitan nasional, pesan para petinggi negeri, tema tahun ini adalah seruan untuk "kerja nyata, mandiri, dan berkarakter. "

Di bawah mentari pagi, aku menyengaja pejamkan mata. Mengundang Dr. Sutomo, juga RM. Mingke, HOS. Tjokro Aminoto untuk datang berkumpul di ruang benakku. Bahkan ikut hadir bersama, Kusno,  Agus Salim, Alimin, Semaun juga Darsono. Seru. Bangga ada mereka. Para pemuda di jamannya, yang mampu menjadi penggerak seluruh bangsa.

Hingga senja,  mereka masih duduk-duduk di beranda jiwa. Berbincang tentang Indonésia,  bicara tentang kita, juga tentang nasionalisme yang adu tanduk dengan sosial media.

Mana batas?  Mana kepemilikan?

Selamat Hari Kebangkitan Nasional
20/05/2016
Poetoe

tengadah senja

Pada gelapnya senja aku menengadah,
aku sedang sedih
sangat.

Kesedihan yang tak mudah aku jelaskan,
bahkan metafora tak lagi aku bisa temukan,
semesta, atau rembulan, atau makhluk luar angkasa?

Mungkin hanya air mata, yang bisa.
Mungkin hanya air mata, yang memadai.

Senja terlampau gelap, untuk disebut senja yang kemerahan.
Matahari sudah lenyap, hanya menyisakan jejak merahnya.

Di bawah jalan layang itu,
aku mencarimu, mencari sebab kesedihan itu.
Namun tak ada, hanya tersisa seekor kunang kunang.
Sendirian. Kesepian.

Tugu Pancoran , 20/05/2016
Poetoe

mengantuk yuuk

Pernahkah kau coba menikmati kantuk,
saat semua menjadi serba cekung
bunyi-bunyian bercampur
menjadi gerutu
layar pandang jadi samar
kaca mata kehilangan fungsi
isi kepala juga teraduk aduk
ada ingatan
ada lintasan pikiran
ada pula pengandaian.
Seru.
Mimpi dan nyata pun tak berbatas.

Mau menikmatinya bersama?
Ayo....
kita ngantuk bersama.

Circle K Pancoran ; 19/05/2016
Poetoe





sejenak

aku menahan diri, sedikit lebih lama duduk di sini
berharap hati lebih tenang
letih rasa dahaga makna
aku butuh istirah
dan sepi segera menyergap
aku tergagap sesaat tiba tiba semua gelap
perlahan mulai ada bunyi lain selain detak jantung
seperti suara tirai jendela yang tertiup angin dari AC

kukira bayangan masa lalu itu tak lalu datang
nyatanya tetap saja
berduyun duyun
memasuki dusun jiwa ku
bersama kabilah keresahan dan gelisah
nikmat lupa yang terinjak injak ingatan
lalu mereka memilih tanah lapang dalam ruang benak
bersama memasang tenda dan mulai berkemah di sana.

Ya sudah. Mau apa lagi.
Aku duduk saja, mulai menghitung gerak hari
satu satu dengan ruas jari.

Al Hikmah,  dekat tugu pancoran
17/05/2016

Poetoe
 

kuliner

bercakap itu seperti bersantap
pemenuhan atas nutrisi hati juga nutrisi diri
karena kita tak bisa sendiri
jika pun sendiri, kita tetap butuh bercakap
meski bercakap pada diri
percakapan intim tentang apa pun
tentang ketakutan yang tak terdefinisi
tentang nada jiwa yang terlewat
hingga biramanya tersendat
interlude yang belum waktunya
atau kau ingin bercakap dengan kalimat bersayap
sehingga makna kita biarkan muram di sudut buram
dan kita tenggelam dalam metafora
antara kita hanya persepsi yang mungkin tak sama kita mengerti
duduk saja kita berdua dalam remang yang tak berkesudahan
jika letih, tatap saja mataku
jendela jiwa ini tak pernah berdusta
meleburlah kita sebagai kurva yang sama terbuka.

nah, begitu... itu lebih baik.

Trans Jakarta, 17/05/2016
Poetoe




    

pantasķah atau dapat apakah?

Saat melangkah ke tempat ibadah, terkadang ada bisikan, pantaskah?

Namun ada pula yang enggan karena berhitung dapat apakah?

Lalu pejuang kebaikan itu bergerilya cari cara, bagaimana mereka bisa nyaman tetap dekat dengan Rumah Tuhan.

 Bagaimana menyadarkan bahwa memang pantas, dan juga pasti ada manfaat jika kita rajin menghadapNya.

Namun kesombongan para pejuang itu bisa menghancurkan semuanya, mereka justru semakin jauh, semakin tak percaya diri untuk memantaskan diri berdekatan dengan Tuhan nya,  juga membuat mereka semakin tak yakin mereka akan mendapatkan apa yang mereka cari di dalam ibadah mereka.

Kita memang butuh cara yang tepat, membuat kebenaran itu indah di etalase kehidupan.

wallohu a'lam.     

boeka topeng

jika kau mau memakiku, lakukanlah
itu bagus untukku
dunia terlalu pintar berbasa basi
menghiasiku
menopengiku
hingga wajah aseliku tak lagi  aku ingat

karenanya jika kau mau memakiku, lakukanlah
itu bagus untukku
dunia terlalu pintar berbasa basi.

jakarta Bekasi 12/05/2016
poetoe 

tonilku

di atas panggung, sendiri berdiri
dingin ruang mengapit hati
debar hangat nafas aku seret
lampu menghajar wajahku
silaunya menggelapkan hamparan penonton
tangan kanan aku angkat....
mata jalang kupelototkan
suara beratku menggaumkan gelisahku
sesekali kata kata menjadi pekikan....

dan dalam gelora kata kata itu
yang menari nari di seisi gedung
hatiku sepi sangat sepi
aku kerdil
bahkan menyublim
dan air mata mengalirlah
padahal mata masih seolah marah
air mata.

Bawah Tugu Pancoran
12/05/2016
poetoe

Benci musuh Cinta

Duduk berdua berhadapan,  nikmati hidangan,
dan televisi menebarkan kepedihan dengan berita kriminal.
Agh, semua bermula pada rasa benci yang membakar perlahan seluruh jiwa.

Segera kuambil remote, selamatkan kenikmatan selera makan siang ini. Lalu percakapan kita tentang bagaimana kengerian itu terjadi.....

Dan kita sepakat bahwa benci lawannya cinta,
karenanya cinta sesalah apapun sasarannya, mungkin saja tetap lebih baik daripada memelihara kebencian.

Jadi wajar jika bagian dari rasa syukurku adalah bertebarnya cinta di sekitar....

Tak berbilang dan tak berkesudahan.



Cerita bunga tentang kita

dan sekuntum bunga itu tertinggal di jok mobilku. Entah itu bermakna apa. Mungkin saja hanya kebetulan, tanpa dongeng di kelanjutannya.

Apakah lalu terhubung oleh bunga tidur itu?

Nalar berbisik abaikan saja, itu hanya endapan ingatan, tak lalu bermakna apa apa.
Tapi rasa sisakan jejak, seperti dupa yang tinggalkan asap dan aroma.

Tentu aku tak ingin bergegas, karena rasa sering sesatkan langkah. Berbeda dengan nalar yang terang benderang, namun sering kering makna dan rasa.
Aku pilih tetap terpilin dalam jalinan dua kutub itu.

Beranjak pelan. Namun tetap waspada menatap ruang. Dan benar saja, karena lalu yang kudapat adalah banyak ketidakdugaan. Beberapa warta yang meruam gelisah. Seperti hendak menguji, aku tak seperti mereka.

Keadaan seolah menggoda, agar aku perjelas ketulusan. Padahal ketulusan tak pantas dinyatakan. Ia justru diragukan saat telah dinyatakan. Aku harus diam.

Biarkan malam yang membahasnya. Dan jarak dan jeda nada menjadi energi menghangatkan, menyamankan.

Semoga.

#Cerita bunga tentang kita.
APTB 08, 10/05/2016
poetoe

keterburuan

Ini tentang fragmen yang ada di waktu yang entah kapan, di tempat entah di mana, dan mungkin memang tak pernah terjadi. Saat pertemuan tanpa duga itu, senyum sebagai isyarat, bahasa purba yang sama kita mengerti. Seolah kalimat "Tunggu aku..."

Berlari kecil menghampiri kalian, kembali senyum itu walau dengan pesan yang berbeda. Kutawarkan bantuan, namun kau menolak. Angin datang menghamburkan yang kita bawa, membuat kita bersama harus sibuk memungutinya. Lalu gerimis jatuh ke bumi, kulihat kau menatapku, sedang matahari tetap bersinar redup . Bersegera kita mencari tempat berteduh, kugendong anakmu, dan tanganmu menggenggam erat lengan kiriku.

Hangat dan nyaman. 

Kenangan bukan sampah

Lupakan menjadi kata yang menyeramkan. Sembilu yang terhunus. Karena bagimu kenangan bukanlah sampah, jangan sembarangan membuangnya.

Sebenarnya aneh memang, jika lalu ingin melupakan, karena betapa banyak fragmen yang sengaja kita guratkan pada dinding masa.

Entah itu dalam senja, malam, juga siang... mungkin hanya pada pagi yang terlewat.

Seperti mengikat erat sendiri, lalu meronta berharap lepas.

Cukup pintar memang kita menyiksa diri.

Jakarta, 06/05/2016
Poetoe.

summa

dan harapan menemukan mentari di telaga itu tinggalah sekedar harapan,
karena malam bergegas menenggelamkan,
yang tersisa lampu, dan senyum itu

banyak ketakterdugaan
terlalu banyak

sehingga makna berhamburan tercecer di lantai halaman parkir
pada kesepian,
pada pengulangan yang tak berkesudahan,

masih teringat percakapan pada suatu siang,
bahwa pengulangan ini pertanda telah jadi kerak karakter....
lintasan, ide, gagasan, tekad, lalu tindakan, terulang jadi kebiasaan, mengerak menjadi karakter. Agh....

tak akan mudah.

mengubah yang mengerak, selalu saja tak mudah....
usaha keras, lalu bisa saja jadi luka.

Dan padamu yang rebah manja di suatu senja,
tak kusesali bagaimana nada ini tercipta...
walau sumbangnya mungkin mengganggu,
mengganggu esokmu, mengganggu ingatan kita, memburamkan benak dengan kusam kenangan yang mungkin tak terlupa.

Bekasi, 03/05/2016
Poetoe.

mimpi di hari pendidikan nasional

Terbangun dini hari, dengan ingatan tentang mimpi yang panjang. Mungkin karena terjaga pada saat yang tepat, maka mimpi itu demikian detail teringat. Seperti sebuah film, yang mengisahkan tentang kehidupanku dalam satu hari.

Dimulai pada sebuah tugas keluar kantor, detail cerita tak usah aku ceritakan ya, mungkin jika ketemu langsung saja nanti aku jelaskan detailnya. Yang pasti tugas ini, lumayan berat, melelahkan fisik maupun hati.

Yang ingin aku ceritakan justru kejadian setelahnya, yakni setiba kembali aku ke kantor. Ternyata ada acara di kantor, dan aku diminta maju mendapatkan semacam penghargaan (hehe... namanya juga mimpi) dan harus menyampaikan sambutan. Lalu aku mulai mencercau tentang "semenjana".

Bagaimana kita harus melangkah dalam dua tarikan kutub: pelayanan prima dan penegakan hukum. Karena tugas kita memang tak sekedar melayani. Aih, detail sambutan ini juga tak perlu yaa aku sampaikan. Karena beberapa tentang hal teknis di kantor tempat aku bekerja. Yang penting tema besarnya adalah sikap yang sakmadya, semenjana, sikap yang "pertengahan", tawazun yang akan menyelamatkan kita.

Terbangun, agak galau. Tidak menyangka alami mimpi sedetail ini. Segera beranjak, biar tenang aku ambil air wudhu, saat itu justru teringat nasehat almarhum Bapak, waktu aku masih di sekolah dasar, ia melihat aku sedang belajar bahasa Indonesia, ia menegurku untuk belajar yang lain, "itu sudah bisa kan? belajarlah yang kamu belum bisa.... kamu ndak suka matematika kan, hayuuuk belajar matematika..." aku merasa ia sedang mengajarkanku untuk tetap menikmati belajar tentang hal-hal sulit bahkan mungkin tidak kita sukai. Dan ini aku sadari setelah dewasa sebagai salah satu cara untuk tetap bertahan pada sikap semenjana itu.

Wallohu a'lam.

"Selamat Hari Pendidikan Nasional."

Bekasi, 2 Mei 2016
Poetoe.

lingsir

Seperti pada suatu waktu yang tak pernah terjadi itu, aku menarik tanganmu, mengajakmu duduk di beranda depan rumah, saat malam dengan cahaya purnama yang nyaris sempurna. Kau kenakan gaun biru muda, wajahmu wajah cerah, seperti menelan semua cahaya bulan lalu kembali pantulkan dengan lebih terang dari cahaya asalnya. Seperti ada aura lain dari wajahmu, menyempurnakan cahaya bulan, hingga indahnya dahsyat saat tertangkap oleh pupil mataku, dan menjadi data yang dikirimkan retina ke pusat benakku. Oh.

Kita lalu duduk saja. Diam. Sesekali bersitatap, membiarkan makna tercerap utuh. Bukankah terkadang kata justru menyesatkan langkah makna yang berderap mendekati pusat otak kita? karenanya diam adalah pilihan.  Justru angin malam yang menampar rambutmu, menyeruak aroma yang demikian aku suka, melahirkan berisik deru yang lembut, seolah mengulum daun telingaku, meronta-ronta melawan sepi yang wingit.

Aku dan kau, duduk saja, diam di bawah rembulan. Mengaduk perlahan malam, yang semakin lama semakin pekat oleh makna.

Bekasi, 24/04/2016
Poetoe

obrolan siang di waroeng mbak Noor

Kami berkumpul di meja makan. Tidak sekedar menikmati hidangan. Karena kami berbincang. Perbincangan itu nutrisi hati. Seperti salah satu bagian dari kurikulum kami, aku gunakan saat ini untuk mempresentasikan hasil endapanku semalam. Tentang bagaimana dosa itu terulang dan terulang lagi. Bahkan saat nalar yang memimpin pun tetap saja dosa itu terulang dan terulang.

Aku butuh peran hati,  sebagai sarana meringankan beban. Cara pandang yang sakti, yang dapat mengubah siksa menjadi nikmat, mengubah rintangan menjadi tantangan. Kuncinya adalah hati.

Entahlah, aku hanya sekedar presentasikan endapan pemikiranku semalam, sepertinya belum utuh, mungkin aku butuh mengulanginya lagi nanti malam. Seperti tinggal kelas, aku harus belajar ulang tentang materi ini. Hati, nalar dan dosa.

waroeng mbak Noor, 20/04/2016
poetoe

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...