Senin, 28 September 2015

Perjalanan Cinta.

Tentang Cinta yang tak bertulang, tak bersayap, dan tak berpamrih. Perjalanan rasa seperti ini tentulah panjang. Awalnya adalah cinta yang penuh dengan gelora untuk memiliki, terkemas dalam hasrat untuk menaklukkan. Seperti anak panah yang terlontar menuju puncak gelora. Menggebu.
Kenyataannya tak selalu sesuai harapan. Hasrat yang bergelora itu membentur dinding kenyataan yang angkuh. Jika tak cukup kuat maka ia raib, terburai menyebar ke seluruh semesta. Menyublim saja. Namun jika rasa itu cukup tangguh, maka ia hanya sedikit membal ke belakang, tetapi tetap utuh. Terkadang harus sedikit mengubah ujudnya. Menjadi rasa yang lebih pekat. Mendapat campuran sayang dan pengertian. Seperti bahan baku rasa Cinta yang bergelora yang dimasukkan dalam mesin objektifikasi, hasilnya bisa musnah bisa pula menjadi rasa yang lebih pekat dan berkualitas.

Pada rasa ini (setelah proses objektifikasi), Cinta menjadi demikian kuat. Lebih didominasi kerelaan untuk berkorban. Seperti rasa bahagia yang ditanamkan dalam hati pasangan. Karenanya titik bahagia mereka menyatu. Seolah dua kurva yang saling mengiris ruang, tak lagi berjarak, tak lagi saling membayang.

Proses selanjutnya adalah bagaimana mempertahankan rasa ini dalam suasana yang konstan. Sehingga tak berkesudahan.  Mungkin proses ini harus dijalani dengan ujian demi ujian, hingga semakin yakin, semakin kokoh bangunan keyakinan itu, bahwa Cinta memang tak berkesudahan.

Demikianlah Cinta yang tak bertulang, tak bersayap, dan tak berpamrih itu tumbuh tak berkesudahan.

Poetoe, 28 September 2015.

Minggu, 27 September 2015

Jenjang Marah

Mencoba tidur siang di saat panas terik, malah bermimpi seperti mimpi - mimpi masa kanak kanak dulu, saat terserang sakit. Mimpi saat aku sakit memang selalu serupa. Padahal saat ini aku merasa tidak sedang sakit. Dalam mimpiku aku seperti ada dalam dunia yang serba cembung. Sebuah perjalanan, yang seolah selalu saja salah arah. Dalam mimpi itu ada gelisah, ragu, tapi juga harapan temukan jalan pulang.  Padahal seperti biasa, hingga terbangun aku tak pernah benar-benar sampai rumah.

Sebenarnya mungkin ini dipicu oleh kejadian sebelum tidur. Asa, anak ketigaku rewel, menangis dengan alasan yang tidak jelas. Biasanya aku jadi ikut marah. Namun terhadap Asa aku memang lebih hati-hati. Aku menahan diri. Hasilnya memang menyiksa. Dada berdegup sangat kencang. Kepala jadi cenat cenut.

Yang terpikir olehku saat itu justru tentang jenjang atas marah. Yang berjenjang seperti juga Dusta.

Marah yang pertama marah dengan diikuti ekspresi fisik yang kalap. Seperti memukul meja, atau mengajak berkelahi.

Marah yang kedua adalah marah dengan wujud kata kata. Bisa berupa cacian atau makian, juga kata - kata kasar.

Sedang yang ketiga, marah dalam bentuk diam. Marah dalam bentuk diam. Ditahan saja. terlihat bijak namun sebenarnya berbahaya bagi kesehatan.  Karena darah demikian pokok untuk kehidupan. Sementara gara-gara marah yang ditahan jantung bisa berdenyut lebih keras, dan rawan serangan jantung yang lebih parah.

Bagaimana bisa selamat dari bahaya marah.??

Mungkin dengan menutup kemungkinan kita "marah" maka kita bisa terhindar dari marah. Bahkan sekedar  marah dalam hati.

Awalnya tentu dengan memahami bagaimana marah itu bisa terlahir...

Jika marah kita terlahir karena ketersinggungan karena merasa harga diri kita diabaikan, maka untuk menghindari marah adalah dengan meredefinisikan harga diri kita. Karena mungkin saja kita yang terlalu tinggi menilai harga diri kita.

Jika marah kita terlahir karena merasa kita di posisi yang benar sementara mereka di pihak yang salah, lalu muncul rasa bahwa kita memang pantas marah. Maka saatnya kita pelajari ulang perjuangan para nabi dulu. Sejak mula jalankan tugas kenabian, tentulah mereka sangat yakin posisinya sebagai penyebar kebenaran, namun lihat betapa sabarnya mereka terhadap umatnya yang masih tak percaya.

Jika marah kita karena reaksi spontan saja, maka ingatlah bahwa terkadang yang menyiksa kita di belakang hari dengan sesal yang menggumpal adalah reaksi spontan kita yang emosional.

Demikianlah, semoga aku bisa dijauhkan dari rasa marah di setiap jenjang itu. Aamiin.

Poetoe / 27 September 2015.

Jumat, 25 September 2015

Obsesi Surga.....

Seberapa besarkah obsesiku atas Surga? seberapa kuatkah keinginanku untuk masuk surga?

Mengapa demikian mudah aku masih lakukan dosa?  hiks

Apakah karena kebodohanku? Karena demikian miskin ilmunya aku betapa jalan menuju surga itu tidaklah mudah. Kebodohan  di kepalaku ini membangun optimisme yang salah, sehingga dengan penuh percaya diri masih bisa berjalan tegak, sementara dosa-dosa besar itu terbebani di atas punggungku.

Masih bisa tertawa-tawa dengan riang sementara tak ada jaminan kepantasanku untuk dapatkan tiket ke surga.

Mungkin memang karena kebodohanku dan ketidaksungguhanku memelihara obsesi surga,  hingga hari ini masih berjalan tertatih, tak juga beranjak dari kubangan dosa, namun tetap tersenyum ceria dan penuh optimisme yang ngawur.

Astaghfirulloh....

Poetoe/ 12 Dzulhijjah 1436 H

Sabtu, 19 September 2015

Dusta

Dusta itu dosa. Sesuatu yang sedari kecil aku pahami. Namun dalam perjalanan hidupku, ternyata tak berdusta itu tak mudah. Banyak jebakan kepentingan yang ujung-ujungnya menggoda untuk berdusta. Definisi dusta pun meluas. Ada dusta yang dianggap baik, entahlah.

Sebenarnya apa sebab aku lalu  berdusta?

Mungkin karena ingin menghindari dari apa yang aku takuti. Seperti takut atas akibat dari kesalahan yang sebelumnya telah aku lakukan. Jadi teringat nasihat ibuku dulu,  untuk jangan lari dari akibat yang sebabnya telah kita lakukan. Dusta ini menjadi pelanggaran atas sikap sportif kita.

Dan seperti biasa, Dia seperti berkomunikasi denganku, dengan memberikan pesan-pesan yang sesuai dengan tema dusta yang sedang aku pilih untuk aku bahas. Pagi tadi aku menonton film "Big Eyes",  tentang Walter Keane yang berbohong bahwa lukisan istrinya adalah karyanya. Selama lebih 10 tahun kebohongan itu dipelihara, hingga akhirnya terungkap saat mereka bercerai.

Dalam film itu diceritakan demikian tersiksanya saat kebohongan itu disimpan dengan kebohongan yang lain. Dan kelegaan yang sangat saat akhirnya kebohongan itu diungkapkan.

Demikianlah dusta memang teramat menyiksa. Karenanya saat kita berdusta namun segera terungkap kebenarannya maka itu adalah nikmat. Nikmat terselamatkannya kita dari derita atas dusta yang berlama lama.

Demikian halnya memiliki orang-orang di sekitar kita yang segera mengerti saat kita berdusta adalah kenikmatan yang luar biasa. Karena ia menjaga kita dari siksa dusta. Dan dari mereka kita bisa belajar bagaimana terhindar dari dusta dalam bentuk apa pun. Bahkan jika kita sekedar ungkapkan satu hal yang tak kita yakini itu pun bagian dari potensi atas dusta.

Mungkin memang solusi terbaik adalah berhati-hati dalam bertutur. Kurangi basa basi karena basa basi itu dapat  memicu dusta atau minimal menimbulkan persepsi keliru atas satu hal.

Entahlah...

Poetoe, 19 September 2015.

Senin, 14 September 2015

Terminologi Menang Kalah dan Penaklukan

Terminologi kalah dan menang ternyata tak bisa mudah kita tinggalkan. Masih saja, kita terjebak pada kegemaran yang tak perlu. Gemar mengalahkan dan bahagia saat menang. Bahkan saat memenangkanmu. Padahal tentu itu memalukan. Bukankah atas nama cinta kita mesti berlomba untuk saling berkorban? Mungkin bahkan untuk besar pengorbanan pun kita saling berlomba untuk mengalahkan. Berusaha kumpulkan pengorbanan yang lebih banyak.

Begitu juga terminologi penaklukan, mungkin tak tersurat, namun terasa saat ada pesaing yang merebut sebagian perhatianmu. Seperti bukti bahwa tak cukup kuat penaklukanku atas dirimu. Apakah ini pelanggaran hak asasiku atasmu? Apapun itu kami sering menyebut rasa ini sebagai cemburu.

........

Poetoe / 14 September 2015

Mencuri bahagia

Tersenyum itu indah. Senyum dengan makna apapun. Bahkan senyum sinis pun menarik jika melihatnya sebagai ekspresi dari pemain sinetron yang perankan tokoh antagonis. Apalagi kalau itu senyum manis, pastilah indah dan menarik.

Ekspresi adalah simbol, sebagai lambang atas pesan yang terkandung di dalamnya. Demikian halnya senyuman, terkadang adalah simbol yang mempesona atas pesan kebahagiaan yang tak kalah mempesona. Seperti senja ini, di tengah himpitan penumpang busway aku menikmatinya. Senyuman manis wanita yang asyik dengan gadgetnya, bisa jadi ia sedang dilanda cinta dengan lawan chatingnya, atau mungkin pula geli atas canda teman-temannya di group WA-nya. Apapun itu, rasanya pesannya jelas bahwa mereka sedang bahagia.

Jadilah aku pencuri atas pesan itu. Ikut bahagia atas kebahagiaan mereka. Pencurian yang mungkin tak terpenuhi secara definisi, karena bisa jadi memang tak ada yang dirugikan. Kebahagiaan memang benda yang cepat berkembang biak. Saat tercuri ia justru menggandakan diri. Yang mengambil menikmati, yang terambil pun tak berkurang bahagianya.

Indahnya, saat sibuk perhatikan senyum-senyum itu, yang aku dapatkan adalah banyak alasan untuk ikut tersenyum. Kebahagiaan menyebar penuhi ruangan.

Hmmmm....

Poetoe / 7 September 2015
Catatan pulang kantor.

Minggu, 06 September 2015

Senandung Kopi

Intronya adalah nada tentang mimpi
Lalu perlahan puisi lembut itu terdendangkan
Rangkaiannya adalah segenap rasa
Rindu yang terseret
Ketiadaan yang bukan karena jarak
Melainkan atmosfer saja yang tak mendukung

Dan segelas kopi seolah penawar
Karena jika ada kau tak lagi aku butuh kopi
Kau menggenapkan kehilangan yang kucari dari genangan hitam itu

Lalu interludenya adalah sepi yang tak dibuat - buat
Dengung saja penuhi birama
Hingga perlahan derap drum kembali terdengar
Dan chorus merobek sunyi....
Menggelepar dahaga rindu

Larut saja
Sampai birama terakhir itu memaksa senandung ini berakhir.
Tanpa nada yang perlahan memelan
Karena berhenti begitu saja

Begitu saja.

Poetoe / 6 Septemper 2015
Nyaris tengah malam.

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...