Tentang Cinta yang tak bertulang, tak bersayap, dan tak
berpamrih. Perjalanan rasa seperti ini tentulah panjang. Awalnya adalah cinta
yang penuh dengan gelora untuk memiliki, terkemas dalam hasrat untuk
menaklukkan. Seperti anak panah yang terlontar menuju puncak gelora. Menggebu.
Kenyataannya tak selalu sesuai harapan. Hasrat yang
bergelora itu membentur dinding kenyataan yang angkuh. Jika tak cukup kuat maka
ia raib, terburai menyebar ke seluruh semesta. Menyublim saja. Namun jika rasa
itu cukup tangguh, maka ia hanya sedikit membal ke belakang, tetapi tetap utuh.
Terkadang harus sedikit mengubah ujudnya. Menjadi rasa yang lebih pekat.
Mendapat campuran sayang dan pengertian. Seperti bahan baku rasa Cinta yang
bergelora yang dimasukkan dalam mesin objektifikasi, hasilnya bisa musnah bisa
pula menjadi rasa yang lebih pekat dan berkualitas.
Pada rasa ini (setelah proses objektifikasi), Cinta menjadi
demikian kuat. Lebih didominasi kerelaan untuk berkorban. Seperti rasa bahagia
yang ditanamkan dalam hati pasangan. Karenanya titik bahagia mereka menyatu.
Seolah dua kurva yang saling mengiris ruang, tak lagi berjarak, tak lagi saling
membayang.
Proses selanjutnya adalah bagaimana mempertahankan rasa ini
dalam suasana yang konstan. Sehingga tak berkesudahan. Mungkin proses ini harus dijalani dengan ujian
demi ujian, hingga semakin yakin, semakin kokoh bangunan keyakinan itu, bahwa
Cinta memang tak berkesudahan.
Demikianlah Cinta yang tak bertulang, tak bersayap, dan tak berpamrih itu tumbuh tak berkesudahan.