Selasa, 30 Juni 2015

Laa Tahzan

Mungkinkah hidup itu perjuangan kita untuk menghindari kesedihan?

Bukankah Dia melarang kita bersedih, dengan firmanNya Laa tahzan innalloha ma'anaa?

Karenanya waktu yang kita jalani adalah ritual mengumpulkan mozaik kebahagiaan di sepanjang jalan hidup. Serpihan senyuman, kelakar sederhana, tawa terbahak, puas, bangga, dan bahagia yang paripurna.

Sebaliknya, di sepanjang perjalanan itu kita hindari duri kesedihan, jelaga perih, percik sakit hati, kabut galau dan gundah gulana.

Seperti saat aku minta kau tak menangis, memintaku pun tak dengan kata. Hanya tatapan dekat pada kelopak mata. Berharap sayap kupu kupu itu mengerjap lalu tetesan air mata itu kau ubah jadi senyuman.

Poetoe. 2015

Samar menjadi remang

Kehilangan fokus; mungkin karena sikap semenjana yang berlebihan....
Mengabaikan garis garis tajam itu.
Yang terbangun adalah samar.
Samar yang menyebar menjadi remang...

Mungkin yang kubutuhkan adalah sortasi.
Keberanian memilah
Memberi batas
...sedikit mengkategori.

Karena motif batik yang kau kenakan senja ini terlalu bias sebenarnya,
terselamatkan oleh garis wajahmu yang tajam.
Mungkin demikianlah aku seharusnya
Perlahan kembangkan keyakinan,
hingga tak lagi ada ruang untuk keraguan.

Chapter baru aku mulai,
Semenjana tak boleh tak berkesudahan....

Karena ada yang harus ada.
Kau tahu itu. Kau tahu itu.


Evaluasi Tengah Ramadhan 1436 H

Mencoba terapkan teoriku di awal Ramadhan kemarin,
1. Ilmu praktis, berfikir mikroskopik, detail. Target bekerja efisien dan efektif. Aku merasa masih gagal. Banyak tugas belum terselesaikan secara optimal.
2. Cara pandang strategik, berfikir lebih makro agar tepat arahkan mata panah tujuan. Ini juga masih mengkhawatirkan. Jelang usia 40 aku mengulang ulang kesalahan masa lampau.
3. Seni, agar cita rasa hidup ternikmati... itu pun rasanya belum berhasil, buktinya masih sering tertabrak badai stress.

Evaluasi hari ini, nilai raportku masih buruk. Untunglah terselamatkan oleh rehat yang berkualitas di ujung senja. Saat semesta bermain sejenak di telaga kekhawatiran. Walau sejuknya melukakan, namun perlahan tabir itu justru tersibak. Ternyata aku sedang memasuki bab baru dalam membacaimu.

Dalam jalanan gelap, aku butuh suluh dan lentera-Nya.

Sabtu, 27 Juni 2015

Catatan dini hariku, sepulang ronda

Catatan dini hariku, sepulang ronda:

Beberapa guru tidak menjadi pemimpin, bukan karena tak mau namun memang mengaku tak mampu.

Guru bicara ilmu. Objektif, normatif. Jelas mana benar mana salah. Sementara pemimpin harus berani ambil keputusan. Terkadang mungkin salah.

Menjadi pemimpin bisa jadi tak disukai, bisa jadi salah langkah. Terkadang memang harus berani pertaruhkan mana yang lebih tak berisiko.

Pemimpin yang masih sibuk dengan citra dirinya tak layak dipanggil pemimpin. Panggil saja ia pesolek. Topeng.

Pemimpin itu mestinya berjiwa besar. Memandang utuh atas semua. Hingga menelan seluruh masalah kecil di depannya menjadi lenyap.

Bukannya abaikan yang praktis dan efektif, namun pemimpin akan lebih perhatikan strategik dan visi jauh ke depan.

Bahkan idealnya, pemimpin itu: praktis agar efektif, strategis agar terarah, dan juga seni dengan penuh cita dan rasa.

(Terinspirasi obrolan di saat ronda)

Rabu, 24 Juni 2015

Menerjemahkan gelap

Lalu mulailah aku menerjemahkan gelap. Saat menyengaja pejamkan mata untuk waktu yang lama. Karena dalam gelap retina mata lebih bebas membaca setiap batas ruang. Otak pun diam, rela menerima pesan apa pun dari mata. Karena ia telah kenyang dengan nutrisi khayalan dari bilik angan dan mimpi.

Demikianlah keheningan mencipta rimanya sendiri. Berlari dari terang, menghindar dari menang, menyelinap dalam gemerlap yang menyilaukan. Karena diri terlampau lelah menyalahkan orang lain, bosan untuk selalu mengalahkan, jenuh untuk selalu mencari dalih membela diri, enggan untuk terus berlari dari caci, berlindung dengan citra, merias diri sedemikian rupa agar indah nama baik agar rupawan harga diri.

Rebahlah ia istirah saja di tanah lapang nurani. Terlentang pasrah. Kendali atas nama telah dilepas. Biarlah saja apa kata orang. Biarlah saja opini berkembang. Karena diri telah terlalu letih. Tak lagi ingin melompat lompat menggapai ingin. Namun justru merunduk rendah, tiarap, bahkan berendam dalam parit dalam. Abaikan kedengkian, moksakan ambisi.

Dengung... lama... denging lama.
Diam.

poetoe.

Remah remah

Menjadi remah-remah saja adalah proses belajar. Belajar menghindar dari penyakit hati.
Terlalu sering nampak dan ingin hebat itu berbahaya. Kadang keinginan bersegera menyalahkan itu menggoda. Lalu biasanya asyik sibuk membangun citra diri.

Memang nikmat bermain di wilayah terang, menang, sukses, dan populer. Namun bahayanya mengancam. Merasa pantas menang itu mudah menjadi meremehkan. Lalu tumbuh menjadi pongah.

Gejala awalnya demikian lembut, hanya rasa tak nyaman mendapat kritik, atau kadang rasa direndahkan. Rasa direndahkan itu bukti diri merasa tinggi. Bahkan rasa berhasil merendah itupun benih tinggi hati.

Karena sebenarnya kita memang butuh di bawah untuk melihat lebih banyak. Benar-benar di bawah bukan sekedar merasa.

Padahal kesombongkan apa yang pantas kita pertontonkan?
Merasa pintar, sementara ketidaktahuan kita jauh lebih banyak dari pengetahuan kita.
Kesalahan kita terlampaui banyak. Karena benarnya kita pun beranjak dari kesalahan-kesalahan kita masa lalu.
Kedekatan kita padaNya pun bermula dari kesadaran atas banyaknya dosa-dosa kita.
Aib kita terlampau banyak. Dan hanya karena Dia tutupilah kita masih memiliki harga.

Saat jelang senja di bulan puasa, adalah tepat untuk memohon ampun.
Sebagai hamba hina, rendah dan kotor. Mengiba padaNya Yang Agung, Tinggi dan Suci. Mengiba.
Kita hanya remah remah dari keagungan Cahaya-Nya. Meleburlah saja....

Poetoe...

Sabtu, 13 Juni 2015

Dini hari

Demikianlah dini hari selalu saja punya cara ingatkan kita, mungkin karena sepi memang kolam yang tepat untuk berendam diri. Mencermati segala khilaf dalam melangkah. Tak ingin ingatan akan kekeliruan itu menjadi sekedar kubangan sesal saja. Harus beranjak menjadi bagian dari langkah kebaikan yang menyusuli setiap keburukan; bukan sebaliknya.

Dan dini hari mungkin serupa perigi, yang sediakan segarnya air dingin, juga kesunyian yang anteng. Tempat nyaman bermuaranya renungan atas apapun yang telah lalu. Karena mengingati sesuatu, atau mengenang peristiwa lalu, jika salah momentum justru akan memperburuk. Karena bisa saja justru semakin mencengkeramkan sesal yang mengental lalu sibuk menyalahkan diri dan kondisi, atau sebaliknya justru semakin sibuk mengarahkan mata panah pencari kesalahan ke orang lain.

Karenanya kita memang butuh saat dini hari. Saat evaluasi serius atas diri sekaligus saat menyusun rencana secara tartil, dan mengakhirinya dengan lantunan doa. Sebagai ekspresi ketidakberdayaan hamba atas hasil usaha kita nanti.

Demikianlah dini hari mengajari kita.

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...