Minggu, 31 Mei 2015

Terpejam

Kumulakan pada gulita
Lalu pendar pendar bulir cahaya
Perlahan menyatu dalan rongga benak....
Terangkai dalam alunan kenangan
Kenangan yang mengendap bukan karena lama
Melainkan rekat oleh pemahaman
Makna yang tumpah dari simbol simbol yang saling terkait....

meleburmu
meleburku

Reaksinya berkejaran seolah tak berakhiran.

Tertahan dalam ingatan

Mungkin memang bukan hilang, bukan pula perpisahan, saat ia masih ada dalam ingatan. Selama apa pun, sejauh mana pun jarak, masihlah dekat saat ia tersimpan dalam benak sebagai ingatan.

Terkadang ingatan demikian menakjubkan. Karena demikian detail tergambar. Bahkan sesekali disertai rasa yang demikian sama, bahkan aroma. Dan semua itu tak lalu bisa kita sengaja dan rencanakan. Karena ia bisa saja tiba tiba teringat.

Demikian juga padamu. Kuharap apa pun yang pernah terjadi antara kita menjadi bagian dari ingatanmu. Mengental kekal dalam benak. Sehingga di suatu masa entah kapan, kan terbukti dan teruji bahwa ini memang tak berkesudahan.

Senandika-kah?

Masih Rumit

Apakah lalu terlalu rumit jika kita tak berhenti pada yang sekedar terucap, sekedar terlihat, sekedar terlintas? Bukankah dunia tempat segala kesementaraan? Dan mudahlah kita tertipu pada yang "sekedar" itu?

Lalu ada yang menjawab "iya. Memang jadi terlalu rumit."

Terdiam. Mungkin aku masih terjebak pada dimensi kata. Belum juga beranjak.

Keterpisahan dan kepulangan

Tersadar bahwa kelahiran adalah keterpisahan hamba dari Dzat Tuhannya, dan kematian adalah perjalan pulang.... kepada Nya.

Pantaslah bayi terlahir selalu menangis karena enggan terpisah dengan Kekasihnya, sedang kematian khusnul khotimah itu justru dijalani dengan senyuman.

Bercermin

Dan cermin kita gunakan untuk melihat kekurangan kita....

Maka dari merekalah aku baca tentangku : tak segera beranjak dari masalah, sering mengeluh, berpikir tak efektif, tidak realistis, dan aneh.

Terima kasih.

Saatnya segera beranjak, jauhi keluhan, berpikir lebih sederhana dan taktis, lebih realistis, dan cobalah menjadi seorang biasa.

Bismillah.

Mencari Ci....

Ini perjalanan... pengembaraan.
Bukan panjang jarak bukan  panjang masa.
Namun terasa panjang
Karena rute yang tak biasa.

Mengeja setiap detik
Menjejak setiap senti
Menebar rahsa
Mencari sumber mata airmu

arus sungai ini hanyalah hilirmu
Ialah ekspresi dari cerminan isi
Di balik topengmu sungguh tak terbaca
Mengelakmu karena enggan setelah terbaca aku kan beranjak....
Padahal mata air pastilah lebih jernih dari arus di hilir.

Pengembaraan mencarimu
Perjalanan memahamimu
Panjang namun kusuka
Sedemikian suka
Hingga tetes darah dan keringat tak terasa.

Ci.
Ci.
Ci.

Jumat, 22 Mei 2015

Topeng wajah topeng persepsi.

Semua kita kenakan topeng, mungkin. Itu jika topeng kita maknai sebagai peranan yang kita ambil. Bukan hanya peranan melainkan juga persepsi orang lain atas diri kita yang sengaja ingin kita bangun. Lalu apakah lalu kita hipokrit saat mengenakan topeng? Mungkin itu bergantung pada seberapa beda persepsi yg kita bangun itu dengan substansi kenyataan yang ada dalam diri kita.

Walau ada yang berdalih tidak masalah jika berbeda, selama anggapan atau persepsi yang kita inginkan itu justru lebih rendah dari pada substansi kenyataan yang ada dalam diri kita. Karena itu artinya rendah hati kan? Entahlah benar atau tidak.

Namun ada pula yang berdalih untuk tetap kenakan topeng, karena menurutnya isi yang sebenarnya dirinya tidaklah menarik. Ia khawatir mereka yang melihat saat ia tak kenakan topeng akan beranjak meninggalkannya.

Dengan alasan yang manakah kita masih kenakan topeng? Atau adakah rencana membuka topeng? Kapan? Ataukah sebenarnya memang sudah tak lagi kenakan topeng?

Senandika 5

Lampu panggung dinyalakan...
Berdiri sendiri.
Kumulakan dengan tarikan nafas
lalu nafas berat
semua harus disampaikan
seburuk apa pun mungkin yang akan terlahir
ini keniscayaan yang dibutuhkan
karena duga terlahir dari ruang kosong yang dibangun antara pemahaman dan ketidaktahuan
lebih baik tak lagi ada ruang kosong kan....?

Menaburkan aku pada mimpi yang resah,
bahwa luka dipilihkan adalah luka yang sama pedihnya
tinggal ku ukur mana yang lebih ringan mana yang lebih santai.

Dan senja mencengkeram hati,
akal sehat tersenyum penuh kemenangan.

Aku pikir kita telah menemukan plot cerita yang tepat.

Senandika 4

Mencari tema, untuk isi bulan suci tahun ini
juga untuk sambut 40 tahunku.
Berbaris beberapa kata:
Semenjana
Renjana
Senandika

Mungkin justru sekedar peta
atau pelita
Peta agar tak tersesat dalam hutan kata
Pelita agar tak tersuruk dalam gelapnya gua metafora

Hidup tak hanya di bawah sinar temaram
Terkadang butuh sinar lampu terang
Nyata dan jelas.

Terkadang berdalih kearifan, gunakan kata semenjana sebagai sarana mengambangkan diri di antara dua tarikan ekstrim
Kanan juga kiri
Dalam juga luar
Radikal juga moderat.

Gamang.

Apa pun. Sekenario setebal itu harus segera kupelajari.
Esok peran itu harus ditonilkan.
Ada atau tak ada penonton.

Ayo.

Senandika 3

Bicaralah tentangku,
terduduk aku menyimakmu
tentang percakapan bernas
tentang pertikaian pandangan
tentang simbol dan batas yang memburam
tentang telaga yang riaknya nyaris tak terbaca.

Bicaralah sebagaimu,
lalu abaikanku, abaikan anggapanku nanti
tentang semburat cahaya tiba tiba itu
tentang air mata yang tertanam di pangkal otak
tentang mana yang kau nyamankan
tentang nama yang kau samarkan.

Namun tiba tiba saja terik -
kilatan tajam
menguliti ingin yang tersembunyi
Obsesi yang seolah virus menyembunyi dalam perhatian.

Teruskan saja,
rembulan sayu malu
berulang terkalahkan - seolah terkalahkan
padahal sekedar terbantahkan....
sebenarnya.

Bola mataku adu dengan cahayamu
membinar dalam kerjap bintang
Perih cahyanya menembus retina
namun kutahan namun kutahan
perlahan perlahan menjadi telaga air mata
sejuk
sejuknya menenggelamkan kami.

Sekian.

Senandika 2

Sinar lampu tusuk mata
Yang terdengar suara berat
Interogasi diri.

Jangan main main... ini sidang nurani
Jari telunjuk persis mengarah ke dahi....
Merasa idealis kenyataannya tidak...
Dusta tapi sopan.
Kau tahu kenapa?
Itu karena sebenarnya kau bukan orang baik baik.
Lalu senyap.

Sorot lampu masih menusuk mata
Kornea lelah mengerjap... air mata mulai mengering.

Suaranya masih berat, seperti peti penuh isi... terseret.
... namun mulai lebih lembut.

Aku tak ingin memenjarakanmu,
Aku hanya khawatir.

Dengan mata yang kerontang itu ia kembali terisak.

Senandika. (1)

Kesepian yang tiba tiba
bahwa diri memang berbeda
namun tak lama
karena berikutnya justru gempita
ada cahaya menyala
dalam dada
bahwa tak ada yang pantas dirisaukan lagi
semua telah lengkap
makna hari telah tertangkap
terkuliti dalam jumput arti

Apakah lalu tak lagi ada rindu
tidak juga
karena rindu itu lahir oleh sadar diri akan perlunya mata dan telinga lain
butuh tatap enggan saat nurani tersembelih oleh kebengisan kata sendiri.

Baru beberapa langkah dari belik
aku telah kembali dahaga
dahaga olehmu
dahaga oleh telaga makna itu

Aku perankan saja
Aku mainkan saja.

Senandika 1

melalui cermin, bincang itu terjadi saja
demikian pula kata aku diulang ulang
sajikan kenyataan dan bukan lagi tentang metafora
karena dunia sudah terlalu muak dengan ungkapan
semua bergerak ke arah makna yang sebenarnya. Tidak ambigu.

maka kita memilih kalimat-kalimat berita saja
jangan hanya cerita dan geguritan
mari bermain dengan fakta nyata
bukan lagi tentang makna-makna bias

memang akan tertuduhkan sebagai kering rasa pada kata-katanya, namun lebih dekat pada kebenaran dengan makna yang gamblang.
hitam dan putih saja.

Sabtu, 09 Mei 2015

Menyikapi konflik

Paling tidak ada tiga gaya menyikapi konflik:

1. Secara terbuka kemukakan ketidakterimaan kita. Hal ini membuat lega, hindarkan kita dari stres karena simpan gundah hati, namun berpotensi lukai hati lawan bicara kita. Karena saat pengungkapan bisa jadi bukan saat yang tepat.

2. Menyimpan perbedaan pendapat kita untuk menghindari sakit hatinya lawan bicara kita, namun ini berpotensi jadi stres buat diri sendiri.

3. Melepaskan potensi konflik itu dalam sikap pemakluman atau memaafkan. Ini melegakan buat diri sekaligus menghindari sikap gegabah yang bisa melukai hati lawan bicara kita.

Entahlah.

Selasa, 05 Mei 2015

Diam, melawan, atau memaafkan?

#: kenapa ya mas

*: dalem?

#: kenapa orang cenderung lebih suka menyakiti orang lain saat dirinya terluka?

*: naluri membalas?

#: kenapa tidak mecari obat penawarnya saja?

*: nah... ini percakapan filosofis... (bersiap simpan)

#: jadi, menurutmu kenapa?

*: karena naluri membalas...
petinju akan bersemangat memukul saat ia terpukul
seharusnya memang ia mencari penawar saja
fokus pada lukanya
karena melukainya tak lalu membuat luka kita sembuh

#: kalau analoginya petinju, dia membalas lawannya yg memukul dia
fight back

*: oh.. ini melukai orang lainnya lagi?
wah

#: bukan memukul para penontonnya kan?

*: iya
hmm.. mungkin kesenangan jika tak terluka sendiri

#: kalau hakikat hidup ini hanya sekedar membalas, lalu dimana ujungnya?
berhenti dimana ini semua nantinya?

*: seharus kata maaf yang menghentikannya
#: siapa yg menghentikan alur ini? atau memang tidak akan berhenti?

*: seharusnya kita yang menghentikan...
bukankah kita lah pelaku utama film Hidup Kita?

#: kalau aku menghentikannya dengan cara diam, does it work?

*: diam itu menahan
menahan itu berat
memaafkan itu melepaskan
melepaskan itu melegakan

#: saat aku belum bisa memaafkan, apa diam itu belum cukup?
untuk sementara, paling tidak, itu menghentikan alur tadi

*: apakah diam itu menuju ke arah "memaafkan" atau hanya diam?
jika hanya diam maka itu belum cukup

#: bener katamu, diam itu untuk menghentikan, supaya aku ga turut melukai orang lain
efeknya akumulatif di aku

*: namun bisa jadi luka itu bertambah di tempatmu

#: dan siap meledak kapan saja aku udah ga sanggup menahan
ledakan itu lah yang harus dihindari
caranya lepaskan.. bukan ditahan
melepaskannya adalah dengan memaafkannya
#: I'll try

*: semangat dik
buat banyak pintu dalam pemikiran kita... untuk melepas luka itu

Sabtu, 02 Mei 2015

tentang waktu; ingatan dan rencana

Poetoe: Terpikir tentang waktu....
Bergerak terus. Ajeg. Konstan.

Yang membuat ada adegan flash back itu adalah ingatan kita.....

Saat merencanakan sesuatu, maka sebenarnya kita sedang menarik hari esok ke hari ini.... walau tentu baru dalam kemasan duga-duga dan ramalan semata.

Demikian halnya saat kita mengingat atau mengenang sesuatu, maka sebenarnya saat itu kita sedang menarik hari-hari kemarin dan masa lalu ke dalam hari ini.

Dan aku di hari ini berdiri di antara dua tarikan: masa lalu dalam kenangan dan hari esok dalam rencana....

Lila: Kenangan tidak akan hilang dia hanya bersembunyi (kata temanku)
atau bisa jadi kenangan sengaja disembunyikan...
Tergantung dimana dia berada...
Tergantung dimana dia kau simpan...
Tergantung jenis kenangannya...

Jika kenangan bersembunyi...
mungkin kita yang mencari dan akhirnya menemukannya..
Atau waktu dan kesempatan yang menemukannya kita dan kenangan...

Lalu kenapa kenangan harus disembunyikan?
kenangan seperti ini mungkin indah pada waktu itu tapi jika dimunculkan kembali membawa dampak yang tidak baik untuk hidup kita sekarang.

Apakah jika kita menarik kenangan itu akan membuat kita bahagia atau hanya membawa kegelisahan?

Ketika kita menariknya akan membuat kita bahagia tentu bukan jadi masalah, menarik kemudian membawanya ke pangkuan dan meletakkannya dijejak hari ini mungkin nanti..

Ketika kenangan itu akan meniupkan kegelisahan.. mengingatnya akan menimbulkan masalah...
Dan jangan biarkan kegelisahan itu mendekapmu.

Termasuk yang manakah kenanganmu itu?
Lalu Kenapa kau tarik kenangan itu?

Jika kenangan itu tak mengusik hidupmu sekarang tak mengapa kau tarik benangnya...
Jika kenangan itu mengusikmu kenapa harus kau tarik benangnya?
Ulurkan lagi saja benang kenangan itu..dan biarkan ia menjadi titik kecil di atas langit yang luas.

Bagaimana kalau kenangan yang membuat kegelisahan menghampiri kita?
Tutup saja pintumu jangan biarkan dia masuk.
Titik!

Selamat Hari Pendidikan Nasional, 2015

Belajar dari #filosofikopi bahwa jangan kerja dengan obsesi melainkan dengan cinta. Yang mau UN belajar dengan cinta jangan pakai obsesi.

Kalau obsesi maka gagal UN bisa jadi akhir segalanya, kalau belajar dengan cinta maka ternikmati hasil dan juga caranya.

Cari terus cara belajar yang paling nikmat. Lalu nikmati. Belajar dengan bahagia. Ilmu itu indah seperti suasana pagi yang segar.

Karena UN itu bagian dari proses belajar. Mestinya ya tetap harus bahagia. Tidak perlu ada ketegangan.

Bahkan jika pun tidak lulus mestinya biasa saja. Karena itu hanya mengukur kemampuan. Jika belum bisa ya ulangi lagi.

Yang membuat seram ketidaklulusan adalah rasa malu. Dan itu penyakit hati para pembelajar.

Yang seharusnya malu itu jika tak bisa namun ngotot pingin lulus. Itu curang. Bohong pada diri sendiri.

Mari terus cintai ilmu. Dan terus belajar dengan cinta. Dan jangan lupa tetap bahagia. Selamat Hari Pendidikan Nasional 2015.


 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...