Jumat, 30 Januari 2015

Energi ketidakberdayaan

Energi gerak pada pedal itu dari naik dan turun, pada pegas itu tarik dan dorong. Energi listrik dengan plus dan minus. Energi tenaga dalam dengan pernapasan itu kosong dan isi, angka binari itu nol dan satu. Kekuatan kita pun pada dinamisasi lemah dan kuatnya kita. Demikian halnya otak kita. Tahu lalu tidak tahu adalah kekuatannya. Kesadaran atas ketidaktahuan yang melebihi pengetahuan kita lah yang membuka pemahaman. Karena kesadaran atas ketidakberdayaan itulah dasar iman atas kekuatan Tuhan di luar kita. Dan memang Dialah yang membuka pintu pemahaman itu, bukan semata mata optimalnya penggunaan otak yang melampaui rata-rata.

Teringat percakapan Tuhan pada malaikat saat penciptaan manusia sebagai kholifah. Malaikat mengakui bahwa tidaklah mereka mempunyai ilmu kecuali yang Alloh telah ajarkan. Demikian halnya Adam yang bisa menyebutkan nama-nama karena Alloh telah ajarkan. QS. 2: 30-33.

Iman adalah energi ketidakberdayaan, jauh dari sikap sombong dan tinggi hati atas kemampuan kita. Kita hanya hamba Alloh, hamba adalah budak yang demikian miskin bahkan atas dirinya pun tidak ia miliki. Juga kalimat takbir yang terkumandangkan adalah ekspresi pengakuan atas kebesaran-Nya dan sekaligus pengakuan atas kekerdilan dan kelemahan kita sebagai hamba.

Dan ayat pertama turun adalah "Bacalah atas nama Tuhanmu yang menciptakan." Kita mendapat perintah untuk membaca ayat Quran dan ayat kauniyah berupa fenomena alam dengan dan atas nama Tuhan yang menciptakan kita. Membaca dalam ketundukan kita sebagai makhluk yang lemah dan jauh dari sikap arogan dan sombong.

Wallohu a'lam.

Rabu, 28 Januari 2015

Bagaimanakah lahirnya Cinta

Selamat pagi...
Bagaimana tersebab cinta itu lahir?

Adalah cinta seorang ibu kepada anaknya, yang bermula dari kelemahan jabang bayi, juga perasaan bahwa sang bayi adalah bagian dari dirinya maka sang ibu mencinta dengan segenap jiwa.

Adalah cinta pemuda pemudi yang bermula dari kekaguman, lalu lahir keinginan untuk memiliki. Inilah cinta yang idealnya berujung pada pernikahan.

Adalah cinta yang metamorfosa, dari sekedar kekaguman menjadi keinginan untuk memahami lalu tumbuh kebutuhan untuk tetap bersama.

Seperti apakah cinta kita terlahir?

Menulis sebagai teman dan rehat

Selain sebagai teman, menulis juga tempat rehat yang nyaman. Rehat dari penat. Bisa sesaat letakkan beban. Seperti duduk bersandar. Dengan isi kepala aku letakkan di meja.

Dan waktu terkadang terasa beku. Seperti di ruang tertutup, dengan dinding dan perabotan serba putih. Hanya suara kita dan detak jantung kita. Saat itulah kita bebas bercakap dengan diri kita.

Kita bisa sesaat mampir ke otak kita, bongkar peta pemikiran kita. Jika perlu kita bersihkan sampah pikiran.....
Lalu lanjut mampir ke hati untuk kembali teliti,
masihkah ada rasa yang tak perlu dirasai...??
Lalu ke setiap persendian, untuk nikmati setiap tanda kerentaan kita...

Hmmm...

Senin, 26 Januari 2015

Ndalang Lelakon "Faazallanaa Sengkuni"

Bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelap
Bumi goyang-goyang langit melayang-layang

Sengkuni petakilan
Walau polahnya selalu saja di balik bayang bayang
Hanya pembisik di sisi gelap sang raja
Serupa syetan yang tak berujud
Yang bisikan ke Adam agar ia terjerumus dalam fitnah khuldi
Dengan iming-imingi kekekalan.

Bisikan syetan membuat Adam dan Hawa terlempar ke bumi
Sementara bisikan sengkuni bisa saja lalu membuat amarah menjadi betah dalam jiwa.
Bahkan sesekali terjadi percikan  benturan, bisa pula perseturuan yang berdarah-darah.

Tapi siapa bisa tangkap sengkuni,
sementara ia adalah bayang-bayang
Mudah melayang terkadang berlompatan pindah dari orang ke orang yang lain....

Mungkin kita biarkan saja,
sampai Sang Dalang lah yang gemes lalu merobek mulutnya....

Bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelap
Bumi goyang-goyang langit melayang-layang

Poetoe. 2015

Keseimbangan dan kecenderungan

Aku memang masih mencari. Sebelum kau menebaknya, aku mengakuinya saja. Pencarianku belum berhenti, karena yang aku cari memang belum aku temukan. Walaupun rasanya malam ini ada sebagian yang aku temukan.

Iya, tentang kegelisahanku. Bisa jadi salah satunya adalah karena mudahnya aku mewakilkan rasa, kondisi, dan pikirankanku hanya dengan beberapa kata saja. Keputusanku itu terkadang membuatku terikat dalam jerat yang sengaja aku buat. Bahasamu "aku terlalu cepat berteori."

Sebenarnya agak absurd, karena bisa jadi tulisanku ini pun bukti bagaimana aku terlalu mudah berteori. Hahaha... jadi sudahlah. Aku akan coba sedikit melonggarkannya. Bahwa bagaimanapun juga, aku pribadi yang bergerak. Teringat betapa kau tak percaya istilah idealis untukku. Awalnya bikin kuping panas, namun belakangan tersadar. Ada benarnya. Dalam banyak hal aku terlalu pragmatis. Bahkan untuk sebuah kata nyaman, aku bisa rela mengabaikan rasaku sendiri. Terlihat jelas pada kalimat menyebalkanku "pura-pura bahagiaaaa."

Jika belajar dari buku yang semalam aku baca, selain "keseimbangan" (tawazun) masih ada kata "kecenderungan" (an-nawazi', atau jika dalam kata yang sepadan: tanaazu'). Menjadi tak bijaksana jika cara berfikirku hanya mendahulukan "harmonis", seimbang saja, tanpa mempertimbangkan bahwa aku pun memiliki "kecenderungan" yang itu manusiawi. Istilah ibuku dulu saat aku masih kecil sering ditegur karena "suka menyiksa diri". Ibuku benar, cara pengambilan keputusanku sering kali memang berdasar logika penyiksaan diri. Ahai, jadi semakin serem.

Membaca tulisan ini, kau mungkin akan memasang wajah berkerut. Tak nyaman. Bisa jadi kau berpikir aku justru kembali dalam jeratan "egosentris". Namun apapun itu, ini adalah bagian dari ekspresiku dalam menyikapi firman-Nya "wa fii anfusikum afalaa tubshiruun" dan kepada dirimu apakah kau tak perhatikan? (QS 51: 21)

Wallohu a'lam.

Minggu, 25 Januari 2015

indonesia awal 2015

Adalah parang yang dilempar ke langit
kilatannya mengedip-kedip
dan orang-orang masih berkumpul bersekam amarah.

Adalah gelisah yang menjadi api
bahwa dusta menjadi biasa
bahwa pura-pura cepat menjadi nyata dalam berita.

Dustai saja aku...
Berita menjadi muak dalam karung kata juga penggalan fragmen.

Jadi rindu, pada Abu Nawas
yang saat gulita dalam pekat dusta dan fitnah,
ia tetap saja bersyair.
Ia yakin, pada saatnya orang dholim itu mati terpenggal parang orang dholim lainnya
lalu matahari terbit lagi, dari celah awan hitam
yang tersibak oleh anyir darah.



Menulis adalah teman terbaik

Jadi paham, mengapa ada yang bilang bahwa menulis adalah teman terbaik.... ternyata memang paling nyaman saat sepi adalah menulis. Terlebih jika dalam hati kita saat menulis itu tak lagi ada beban entah terbaca atau tidak tulisan kita. Sehingga kita merdeka dari kepentingan. Lepaskan saja. Karena ini tidak seperti menulis tesis atau karya ilmiah melainkan sekedar ekspresi pertemanan saja.

Mungkin tak semua orang sepakat, karena ada juga yang lebih suka saat sepi itu ya diam. Berfikir sendirian. Merenung saja. Dulu aku pernah menikmati itu. Duduk saja, lalu berpikir mendalam tentang sesuatu. Membuat dahi sedikit berkerut namun rasanya nyaman. Tapi belakangan aku lebih memilih menulis. Karena dengannya, kita lebih jelas runutan berpikirnya. Dan ada dokumentasi, rekam jejak yang pernah kita pikirkan. Sehingga jika ada kesalahan dalam pemikiran kita bisa pelajari lagi di kemudian hari.

Tinggal kita pilih, kita akan berpikir tentang sesuatu atau merasai sesuatu lalu ekspresikan dalam kata. Semuanya menjadi serupa selokan-selokan kecil yang dapat mengurangi denyut yang berlebihan di kepala kita. Mungkin serupa "sublimasi".

Entahlah....

Gerimis senja

Gerimis senja
adalah perpaduan rasa
antara manis dan pahit
manis ialah salah satu bagian dari  kelezatan,
sementara pahit bisa jadi manis yang keterlaluan.

Gerimis senja
adalah rima dan irama yang berbaris
terkadang memang tak lagi merdu,
bahkan masuk dalam kelompok nada sumbang
tapi tak masalah jika tetap tanpa sesal.

Karena biasalah kita terluka oleh lupa
biasalah kita ternoda oleh jelaga.
Asal jangan lalu mempermudah kesalahan untuk kembali terulang.

Sabtu, 24 Januari 2015

Hanya dan Cukup.

Ada dua penggalan ayat yang saat ini menjadi bahan pemikiranku:

1.  "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in" artinya: Hanya kepada-Mu lah kami menyembah, dan hanya kepada-Mu lah kami mohon pertolongan.

2. "Wa kafaa billahi syahidaa." Artinya: cukuplah Alloh yang menjadi saksi.

Ada dua kata "hanya" dan "cukup" yang aku garis bawahi. Dua kata yang sering aku lalaikan. Kata "hanya" itu membuat kita fokus pada satu titik, sedangkan kata "cukup" itu membuat batas. Bisa jadi ini menjadi obat yang baik untukku. Fokus dan memiliki kemampuan ignoransi yang memadai atas hal-hal lain yang memang bukan hak kita. Seperti di sebuah perjalanan pastilah ada godaan pemandangan yang indah dan melenakan, bahkan mungkin ada tawaran yang mengajak kita mengubah arah tujuan.

Fokus dan ignoransi ini titik lemahku. Bersanding dengan empati dan peduli, satu hal lain yang seharusnya jadi potensi namun kesalahan meraciknya kita bisa jadi melanggar batas atas hak orang lain. Kesalahan itu terkemas apik. Bahkan tidak terlihat, sampai demikian parah. Saat terlalu jauh pelanggaran atas hak itu pun, aku masih belum juga tersadar.

Jika masih dengan analogi perjalanan tadi, maka kesalahan arah itu harus segera diperbaiki. Jika tidak, aku akan semakin jauh tersesat. Segera berhenti, dan balik arah. Semoga jejak kesalahanku masih bisa aku runut hingga bertemu kembali ke jalan semula. Lalu mulailah lanjutkan perjalanan sesuai rute yang benar. Tidak perlu terlalu disesali. Karena pasti ada keletihan yang seolah tak perlu, ada luka mungkin yang aku peroleh di sepanjang rute sasar itu. Mungkin  lebih nyaman jika aku syukuri. Bahwa aku menjadi lebih banyak pengalaman.

Kata "hanya" kembali aku ulang. Hanya kepada-Mu. Peniadaan atas yang lainnya. Teringat pak Kyaiku dulu saat pelajaran tafsir  surah Al-Fatihah, beliau menganalogikan kata "iyyaka" hanya kepada-Mu sebagai tindakan mengarahkan ujung anak mata panah kepada titik sasaran. "Na'budu" (kami menyembah) adalah fokusnya kita pada sasaran, dan "nasta'in" (kami mohon perlindungan) adalah kekuatan bertahan anak panah pada tiupan angin saat ia nanti terlepas menuju sasaran. Fokus dan memilki kemampuan tetap bertahan pada jalurnya dibutuhkan dalam mencapai sasaran kehidupan kita.

Kata "cukup" pada "wa kafaa billahi syahidaa" (cukuplah Alloh sebagai saksi) bisa membuatku lebih tenang. Di dalamnya ada rasa syukur. Juga ada keberanian untuk mengabaikan pandangan orang selama menurut kita telah sesuai dengan yang Dia inginkan.

Wallohu a'lam.

Jumat, 23 Januari 2015

Teman

Aku ingin menjadi teman. Di sebelahmu. Bila perlu menyelusup masuk ke dalam rusukmu....
Bergelantungan di sana. Dekat dengan jantungmu.

Hanya bergelantungan di dekat jantungmu.... mendengarkan detak denyutnya saja....
Tanpa bisa terlalu dekat.
Karena jika terbawa arusnya mungkin raga serenta aku tak akan mampu.

Kamis, 22 Januari 2015

HUJAN MENGENDALIKAN RASAKU

Hujan sedari dini hari, bahkan sedari kemarin mungkin. Rintiknya memukul-mukul hati. Dan mungkin karenanya aku jadi menangis pagi ini. Dengan entah sebab apa. Rasanya seperti dulu saat belia dan rasakan cinta yang terabaikan. Aku menangis di kamar mandi, persis seperti dulu. Mungkin ini badai puber keduaku.

Hujan tetap saja turun, hingga siang tak juga berhenti. Dan aku pun kembali menangis. Kali ini dengan sebab yang dapat aku mengerti. Karena aku menangis bersama khotib dan jamaah solat Jumat lainnya. Kami terbawa suasana oleh materi yang khotib sampaikan. Materinya materi yang sebenarnya sering dibawakan oleh khotib lainya, namun suasana hujan dan cara penyampaian yang mendukung, dengan tambahan kisah-kisah nyata yang menguatkan tamparan ke hati kami.

Khotib bercerita tentang hadits dari Bukhori Muslim yang menjelaskan tentang tiga amalan yang paling disukai Alloh SWT. Adalah:
1. Sholat tepat waktu
Dengan ditambahkan kisah nyata penjual bakso yang teguh menjaga solat lima waktu tepat waktu di masjid, dan konsisten membagi penghasilannya menjadi tiga, satu untuk infak masjid di dekat rumahnya, satu untuk modal usaha dan nafkah keluarga, dan satu lagi untuk tabungan hajinya. Akhirnya dia naik haji tahun lalu.
Juga tentang kisah tukang becak di Semarang yang bertemu dengan seorang pengusaha yang minta diantar keliling kota Semarang pada dini hari. Hingga saat masuk waktu solat Shubuh Ibnu si tukang becak itu minta maaf tidak bisa melanjutkan karena harus ke masjid untuk solat. Pengusaha itu tertarik dengan alasan tukang becak, namun coba mengujinya, akan berikan Rp.500.000,- hingga Rp.1.000.000,- jika Ibnu mau lanjutkan mengantarnya berkeliling. Namun Ibnu menolaknya, jawab dia, "Bukankah solat subuh tepat waktu itu lebih baik daripada dunia dan seisinya?" Akhirnya pengusaha itu mengalah, mereka solat di masjid terdekat. Dan selepas solat, pengusaha itu memeluk Ibnu, dan ungkapkan kekagumannya atas konsitensi dia menjaga solat tepat waktunya. Dan Pengusaha itu menawarkan membiayai Ibnu untuk naik haji.

2. Bakti kepada kedua orang tua.
Kisah Alqomah dipaparkan. Bagaimana amalan kebaikannya tak dapat memudahkannya menjalani sakaratul maut, bahkan menghalanginya mengucapkan kalimat toyibah saat sakaratul maut. Ternyata itu terjadi karena tak ada rido dari ibunya, yang pernah sakit hati karena Alqomah lebih cinta kepada istrinya daripada kepada ibunya.

3. Jihad di jalan Alloh.
Bersungguh-sungguh di jalan kebaikan, di jalan dakwah. Bagaimana bekerja sebagai ibadah, sehingga menjalaninya dengan penuh kesungguhan. Berikanlah amal terbaikmu selama menjalani hidup ini.

Materi ini membuat air mata kembali tumpah.

Saat khutbah kedua, khotib membacakan ayat dalam surat At-Tahrim, tentang seruan bertaubat. Lalu dilanjutkan dengan doa bersama. Ini juga menampar hati. Sekali lagi air mata tumpah.

Dan ternyata tak cukup sampai di situ. Saat solat dua rakaat, imam memilih membaca surat At-Tahrim ayat tentang taubat itu di rakaat pertama, lalu surah Ar-Rahman di rakaat kedua. Kombinasi indah, Taubat dan Cinta/sayang. Ini seperti menu yang tepat untukku. Aku tertampar kesekian kalinya. Air mata. Namun segar.

Saat keluar masjid, walau matahari masih bersembunyi di balik mendung, aku lega. Aku merasa hari ini lebih terang. Aku bersyukur atas segala nikmatmu wahai Sang Pencinta, wahai Sang Penyanyang.


Rabu, 21 Januari 2015

Menjadi Berbeda

Tiba tiba saja, hari hariku tanpa kopi hitam
Minuman yang dulu serupa dupa dalam sesajen
Pemicu inspirasi, teman dalam sepi

Berhentiku bukan oleh hatiku melainkan
Lambungku
Didukung pula tahun ini tahun perubahan
Rasanya tepat
Mengubah banyak hal
Meninggalkan apa yang dulu teramat kusuka
Berpaling pada hal hal yang berbeda
Harapan tentu
Menjadi lebih baik...

Bukan hanya olah raga yang berbeda
Bukan hanya pola makan dan minum
Namun juga cara melihat dunia
Sedikit berjarak pada mimpi
Memberi ruang pada kesadaran dan hal hal nyata

Entahlah.

Mungkin benar.
Aku banyak berteori sebelum praktek
Melanggar kaidah asasi... bahwa teori itu lahir setelah praktek.

Entahlah....



Minggu, 18 Januari 2015

Melibatkan Dia

Seberapa agama mempengaruhi kita. Apakah kita hanya meletakkannya sebagai bagian dari kehidupan saja atau kehidupan ini seluruhnya kita tata dengan agama?

Teringat 15 tahun lalu ada seorang teman yang dengan semangat mendefinisikan agama sebagai penataan hidup. Mungkin ini istilah yang tepat untuk menjawab pemikiran sekulerisme yang memposisikan agama sebagai ritual semata. Dan kehidupan duniawi terpisah dengan kehidupan ruhani/ukhrowi kita.

Saat kuliah dulu, aku selalu terpesona oleh anak-anak muda, yang rajin bertanya dalam aktifitas hariannya, "apakah ini yang Tuhan ingin kita lakukan?". Selalu melibatkan-Nya dalam setiap keputusan. Jadi malu, jika pada saat keputusan-keputusan penting justru kita mengabaikan-Nya. Dan lebih memilih menggunakan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat duniawi.

Kita memang butuh kesadaran penuh bahwa perjalanan di dunia ini hanyalah jalan menuju kampung akhirat kita. Kesadaran penuh, karena dalam menjalaninya kita sering terlupa dan lalai. Karena demikian memukaunya perjalanan dunia ini. Semoga Dia selalu melindungi kesadaran kita.

Aamiin.

Cinta dalam menang dan kalah

Terkadang kita membaca sesuatu dengan kacamata pertandingan. Menang dan kalah. Seperti saat bicara tentang cinta.

Seorang yang mencinta seringkali diperlakukan sebagai pihak yang kalah saat yang dicintainya tak membalas cintanya. Menjadi agak aneh memang, karena yang aktif melakukan dengan awalan "me" justru kalah dengan objek pasif yang berawalan "di". Sepertinya kata dasarnya adalah hal negatif.

Apakah cara pandang ini benar? Apakah memang tak ada menang dan kalah dalam kata cinta? Atau cinta memang tak layak dipertandingkan?

Entahlah....

Tahu diri

Hari ini aku menyimpan kata yang diucapkan untukku, terdengar biasa namun kini aku resapi benar-benar. "Kasihan..."

Kata dasarnya memang kasih, kata yang mengungkapan rasa yang agung. Terkadang orang memposisikan lebih tinggi dari cinta. Namun saat mendapat akhiran "an" terasa berbeda jauh maknanya. Mendengar kata itu yang muncul kemudian kata "tahu diri", "sadar diri", dan "mawas diri".

Tiga rangkaian kata yang idealnya berujung pada introspeksi diri. Banyak kelemahan yang perlahan mengambil alih posisi dalam diri. Kasalahan membaca tentang kelemahan diri ini bisa berakibat fatal.
" Halakam ru'un lam ya'rif qodruhu."
Rusaknya seseorang itu karena tidak mengerti ukurannya.

Padahal tak mudah memahami diri. Karena kita butuh cermin. Agar lebih objektif memandang sisi subjektif kita. Semakin jernih cermin akan semakin objektif cara memandang kita.

Entahlah....

Takut

Sebenarnya apakah takut itu?
Mungkin sesuatu yang ada dalam tabir ketidakmengertian....
Mungin kumpulan mimpi buruk sejak jaman kanak-kanak kita....
Mungkin pula bayangan yang lahir atas dasar prasangka buruk kita.

Padahal ketidakmengertian kita jauh lebih banyak dari apa yang kita mengerti.
Padahal masa lalu kita mungkin lebih banyak dibanding masa depan kita.
Begitu pula dengan prasangka yang lebih dikuasai sangka buruk ketimbang sangka baik.

Agh...
Kita memang punya banyak alasan untuk takut


Kamis, 15 Januari 2015

Belajar Filsafat

Dulu aku menggandrungi ilmu filsafat saat masih terlalu muda. Mengenal Socrates, Plato, dan Aristoteles di bangku SD. Bahkan saat Tsanawiyah pernah sangat mengagumi Rene Descartes. Karena di pesantren aku jadi kenal juga Imam Gozali yang pemikiran bergerak dari rasionalisme hingga ke sufistik.

Bapak yang mulai khawatir, hingga menasehatiku bahwa sebenarnya akhir dari perjalanan filsafat itu adalah agama. Jangan berlama lama di sana, karena jika ingin tak lelah pelajari saja agama, kau tak berjalan memutar....

Perjalanan pemikiran memang terkadang nampak naif saat kita ditarik ke dunia nyata. Mungkin berpikir mendalam tentang sesuatu itu adalah dasar kita jalani hidup. Pondasi. Tentu pondasi saja tak akan cukup. Kita butuh dinding amalan nyata. Butuh kerja. Butuh aksesoris karya sebagai ekspresi rasa.

Hidup memang harus dijalani. Hidup seperti air mengalir. Menuju muara kematian. Sesekali alirannya perlu memutar dalam ceruk mata air. Untuk menjernihkan langkah. Untuk sekedar rehat sesaat secara ruhani.

Mengalirlah, dengan sesekali rehatlah sejenak di mata air hikmah....

Membacamu.

Kau serupa buku dan butuh waktu untuk membacanya utuh. Namun tak pernah lelah mengulanginya lagi dan lagi. Bahkan terkadang waktu yang harus mengalah, menjadi acak dalam benak. Karena yang lalu kupaksa ke kini, dan yang kini terkadang ku abaikan.

Kau serupa karya seni yang tak pernah selesai aku nikmati. Karena sebagai patung, betapa rumit lekukan pahatanmu. Sebagai lagu, betapa harmoni dan detail perubahan nadamu. Juga sebagai lukisan, goresan warnamu kaya oleh energi.

Aku berusaha memahami sekaligus menikmatimu di setiap detailmu.

Rabu, 14 Januari 2015

Matahari menyemesta

Semesta, matahari, hujan lalu pelangi
Demikian hari ditetapkan
Keinginan, keyakinan lalu perhatian juga pengorbanan
Demikian setiap detik diberi makna.

Semesta, matahari, permintaan lalu tatapan
Demikian pula hujan teruntuhkan
Genangan, embun, mengawan lalu jadi mendung
Mendung menari bersama angin
Melindungi lalu jatuh dalam satu ingin.

Semesta, matahari, irama langkah lalu cinta
Demikian hati menjadi simponi
Sebab saling sandra berdalih ingin tak terganti
Sepakati hati
Untuk saling tak lukai
Matahari menyemesta
Semesta lumat dalam matahari.



Selasa, 13 Januari 2015

Lagu tahu diri dalam hujan pagi

Pagi ini masih dalam hujan. Bahagia dalam balutan dinginnya. Hujan adalah salah satu cara Dia menyapa kita sebagai makhluknya. Segar airnya, segar pula aromanya. Meniupkan energi pagi ini.

Tetesannya serupa senandung. Mengajakku menari di bawah curahnya. Dan laguku tentu masih tentang tahu diri. Lagu yang lama tak kusenandungkan. Karena sibuk bernyanyi tentang percaya diri saja.

Dalam lagu tahu diri, akan banyak garis birama yang menahan nada. Ada banyak batasan  yang harus aku mengerti baik baik. Keinginan terevaluasi secara signifikan. Menjadi temuan nalar yang berperan sebagai auditor.

Awalnya tentu perih. Karena pisau nalar terkadang terlalu tajam mengiliti mimpi. Tapi perlahan jiwa akan beradaptasi. Membiasakan diri... membebalkan diri.....

Aku terus belajar. Pada pagi, pada hujan. Pada matahari yang bersembunyi di balik mendung.



Senin, 12 Januari 2015

Hujan dan ingatan

Perut lapar dalam aroma hujan... selalu saja
mengembalikan ke masa
saat sepulang sekolah. Bergegas.
Berharap nasi panas dan sayur nangka...
Bahkan aromanya terasa kini.

Teringat pula satu masa saat puisi mengisi seluruh hari.
Dan setiap nafas yang terhirup menjadi rasa yang pekat oleh makna.
Dan cinta seolah memenjara seluruh raga.

Apakah yang ingin kau kembalikan?
Waktu yang telat lewat atau keheningan yang tersisa?
Pada genangan di lubang jalanan, aku...
bagikan resahku.

Dingin dan redup.




Kamis, 08 Januari 2015

tentang Kecewa

Kau tahu dari racikan apa sajakah adonan kecewa itu?

Ada harapan yang melampaui kenyataan
Ada mimpi yang terlalu tinggi
Ada pihak yang abai atas kepentingan kita
Ada luka yang lahir dari parang sangka yang tajam....

Dan mungkinkah kecewa itu tak ada lagi ruang di hati ini?

Mungkin dengan manajemen harapan yang benar...
Mungkin dengan mimpi yang sepi dari ambisi...
Mungkin dengan abaikan saja mereka...
Mungkin dengan sarungkan kembali parang prasangka ke uluhati nurani.

Dan seberapa pantaskah kita kecewa, sementara kecewaku pada mereka itu tak  sebanding kekecewaan mereka pada kita?

Wallohu a'lam.

Sepi dan biasa lalu merdeka

Aku pernah khayalkan
Kisah dua manusia dengan keanehan yang sama (saat itu aku khayalkan keduanya memiliki sayap di punggungnya dan mereka sembunyikan di balik bajunya)
Hidup terpisah, namun suatu hari dipertemukan...
Sama-sama terhenyak ketidakbiasaan yang selama ini membuat mereka sepi terobati.
Tersadar bahwa mereka tidak sendiri.

Lelah mereka pun sama.
Lelah untuk nampak beda dan seolah luar biasa.
Keinginan rehat mereka pun sama.
Rehat dalam sepi
Rehat dalam biasa
Rehat dalam kenormalan.

Dan saat sendiri, dalam renung bersama komposisi murung
Mereka temukan keindahan itu
Keindahan yang bersembunyi dalam derap alam
Keindahan dalam diam
Keindahan dalam biasa.

Saat sepi dan biasa dapat mereka taklukan
Mereka mungkin sudah merdeka.


Belajar menulis puisi

Kepada sesorang yang menyukai gambar peta (kesukaan yg aneh kupikir) aku katakan "sebutkan tiga kata yang kau pikirkan saat ini. Nanti kita bisa buat puisi"
Lalu dia menyebutkan "penjahit, kupu-kupu dan senapan". Aku bertepuk tangan, takjub. Pilihan kata yang aneh.

Mulailah aku mencoba menghubungkan ketiganya:

Penjahit, kupu-kupu dan senapan
Menjahitkan impian
Mengepakkan harapan

Menyulamnya untuk lalu terbangkan
Dan masa silam menodongkan senapan tepat di pelipis
Namun nanap Cinta menatap tajam
Jahit saja hatiku aku tetap enggan abaikan matahariku

Penjahit, kupu-kupu dan senapan
Menjahitkan hiasan
Pada sayap kematian

Mengeja kata lalu ubah dalam gerakan
Karena bahasa tak hanya lewat kata
Melainkan juga gemulai dan ritme hentak
Dan kemarahan yang menjadi energi dalam tarian.

Penjahit, kupu-kupu dan senapan
Gulita aku tanpa arahan.


Selasa, 06 Januari 2015

Mencari tahu dan memahami.

Mencari tahu dan memahami terkadang memilih jalan yang berbeda. Mencari tahu lebih memilih sumber dari luar. Ia serupa proses input data. Sedangkan memahami cenderung mirip proses pengolahan data.

Seperti semalam, pencarian itu justru seperti menemukan hasilnya saat lewat malam. Saat proses input data sudah dihentikan. Pengendapan informasi yang awalnya menyakitkan. Karena rongga kepala seperti lewat batas. Mungkin karena prosesor atau RAM ku yang butuh diupgrade.

Yang terjadi seperti gelembung kesadaran yang dijejalkan ke dalam rongga kepala. Awalnya nyeri. Hingga beberapa kali tubuh seolah ditampar. Namun perlahan, ada ekstase tersendiri. Mozaik pemahaman itu satu-satu terurai. Aku tersenyum, menjadi rancu saat ada pertanyaan "mimpi buruk?" Spontan aku mengangguk. Namun segera setelah teringat kelegaan itu aku meralat. Ini bukan mimpi buruk, walau bukan juga mimpi indah. Ini proses pencerahan.

Jika pemahaman berhasil didapat, lalu apa keputusan yang diambil?

Ternyata pemahaman itu tidak lalu melahirkan satu sikap karena bisa jadi buah dari pemahaman itu justru "diam".

Entahlah. Karena bagaimana pun juga tidak mengambil keputusan itu juga satu keputusan.


Sabtu, 03 Januari 2015

Masih tentang diri.

Ingin kembali berbincang tentang diri, membuka beberapa buku menemukan beberapa hal menarik:

1. Sutan Sjahrir dalam Renungan Indonesia: "Kita merasa diri yakin bahwa kita bisa menilai diri kita dengan objektif, bahwa kita tahu hubungan yang tepat antara kita dengan masyarakat dan kemanusiaan; tetapi betapa banyak energi yang kita pergunakan untuk membuat citra pribadi yang kecil ini seindah mungkin di mata orang lain dan juga di mata kita sendiri."

2. Kisah penolakan Iblis untuk bersujud kepada Adam dengan alasan "abaa wastakbaro", menentang dan sombong. (QS. 2: 24)

Betapa banyak waktu kita habiskan untuk membangun citra diri kita. Sibuk bersolek. Mematut matut diri. Bahkan terkadang terlupa tidak lalu dengan menambah kapasitas diri. Jadi hanya citra saja yang dibangun sehingga semakin berjarak antara kapasitas diri yang sebenarnya dengan citra atau reputasi kita di hadapan orang lain. Hasilnya adalah terbangun pribadi yang egosentris. Merasa demikian hebat di mata diri sendiri. Merasa layak mendapat penghargaan dan penghormatan.

Efeknya adalah kita menjadi pribadi yang mudah tersinggung bahkan terluka saat orang tak memberikan penghargaan yang sesuai dengan anggapan diri kita atas diri kita sendiri. Dari perasaan ini muncul lagi potensi untuk berat mengeluarkan kata "maaf" dan "terima kasih". Juga tak mudah untuk memaafkan orang lain.

Bisa jadi kita tak sadar, sedang terjebak dalam "kesombongan". Sikap hati yang sama dengan sikap hati Iblis saat mula-mula melakukan tindakan kekafiran di hadapan Allah SWT.

Masih ada waktu, untuk mengikis habis sifat Iblis ini dalam diri kita ini. Mari....

Wallohu a'lam.

Mengapa harus memaafkan?

Ternyata tak mudah mengarahkan hati untuk memaafkan. Mencoba mencari alasan yang mendukung hati kita menjadi pemaaf. Paling tidak ini yang terpikir saat ini:

1. Nabi, hamba-Nya yang dilindungi dari kekeliruan dan kesalahan saja demikian pemaaf, bagaimana dengan kita yang penuh keliru dan dosa? Bisa jadi perbuatan dholim orang lain itu adalah buah dari kekeliruan kita di masa lalu, jadi mengapa tak kita maafkan saja.

2. Sesuatu itu terjadi tidaklah berdiri sendiri. Pasti ada lingkupan peristiwa lain yang mendukung. Bisa jadi hal buruk yang dilakukan atas kita hanyalah ekspresi sesaat bukanlah substansi isi dirinya yang sebenarnya.

3. Memahami bahwa memaafkan adalah serupa melepaskan. Bukan menahan dalam dada yang membuat sesak, melainkan melepaskannya saja. Disertai dengan kehadiran Dia dalam proses pelepasan itu. Tentu akan melegakan dan dapat menjadi energi untuk move on.

Wallohu a'lam.

Tentang Keyakinan

Belajar kembali tentang keyakinan.
Bahwa semestinya ini bukan doktrinisasi.
Bukan pula tentang jalan penuh kontradiksi.

Keyakinan kita mestinya tak lalu membuat kita gulita atas pintu pemahaman lain.
Begitu pula tak lalu ciptakan langkah penuh benturan.
Jika pun ada benturan itu atas hal asasi bukan perkara remeh yang ujungnya tentang ego kita saja.

Betapa banyak langkah kita yang keliru.
Betapa banyak informasi yang penting yang kita abaikan.
Yang mungkin terjadi semata-mata terlalu pentingnya diri kita di mata kita.

Jumat, 02 Januari 2015

Poem Of Ci

*
Dan kerinduan terhadap matahari lah yang mungkin jadi energi untuk bertahan dalam malam.
Energi untuk perlahan tenggelam dalam
Sunyi berkepanjangan
Indah dalam dengung tanpa nada.

Datanglah angin tebarkan harapan
Ingin yang tersulam dalam doa
Agar keberkahan itu tersiram
Rahsakan perhatian yang menyatu dalam curah hujan.
Nafas yang bercampur dalam guntur.
Inspirasi hati yang mengalir
Tetesannya...
Hujan dan....
Air mata.

**
Dinding tua seolah menyemesta padahal bukan siapa siapa.
Entah kabut apa yang menyihirnya.
Sesenggukan... saat kesadaran datang bertamu
Isaknya mengumandang hingga pagi.

Demam aku olehmu, gumam dinding tua.
Indahkan luka dengan tawa terpaksa
Abaikan saja.
Rahsa menjadi raja.
Nestapa menjadi nada.
Indahkan perih dengan senandung lirih.
Tatap langit, nanar.
Hukum saja hati....
Anggap saja tembok dinding ini memang penuh luka.

***
Dalam sepi
Entah ini mimpi atau benar benar terjadi
Silau aku oleh gelap yang teramat
Ijinkan aku lenyap.

Dalam sunyi
Imbangkan nyata dengan duga
Aku bisikkan pada jeda
Remah-remah kesadaran
Nyalanya masih remang
Injak keakuanku
Telanjangi ambisi
Habisi kesombongan diri
Aku menyublim dalam bunyi "ngiiiing" panjang.



Selamat Pagi

Selamat pagi....
Walau tanpa matahari, kerana hujan sedari dini hari
Bukan tanpa sebenarnya
namun hanya tak terlihat

Apakah yang tak terlihat itu lalu imajinasi?
Apakah nyata itu hanya yang jelas ada di depan mata?
Apakah ingatan itu yang menjaga semua tetap ada?
Apakah hanya lupa yang membuat kita terpisah?
Apakah imajinasi yang membuat kita lemah?
Lemah di dunia nyata?
Apakah dunia nyata ini bukan imajinasi belaka?
Ataukah tak ada namun selama itu masuk akal itu adalah nyata?
Entahlah....

Selamat pagi, walau tanpa matahari kami yakin ini pagi....
Entah imaji apa yang membuat kita begitu yakin.

Matahari berbincang

Mungkin demikianlah gaya matahari berbincang. Cahayanya lembut saja, namun membekas lama dalam rasa hangat. Bagaimana kisah itu terputar lagi demikian detail menggedor hati... sederhana, namun membuat kenyang ruhani.

Terpikir banyak hal. Tentang waktu yang meniscaya bagi setiap makhluk. Selalu ada fragmen yang Dia siapkan untuk kita perankan. Dan kebodohanlah yang membuat kita membiarkan fragmen itu kita jalani tanpa makna.

Juga tentang pertemuan dan perpisahan, tentang kehidupan dan kematian, tentang ingatan dan pengabaian, juga tentang batas dan waktu luang.

Benar memang, saat nekat terbang mendekat aku mengerdil dalam cahayamu bahkan perlahan mungkin bisa moksa dalam ketiadaan.


 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...