Minggu, 26 Oktober 2014

rahsa Hijrah di senja ini

Matahari senja yg sama,
yang memandangi kita juga mereka kaum sebelum kita....

Dari jaman ke jaman,
para perantau, jalani hidup sebagai perjalanan....
rasakan detak bumi dengan jejak kaki yang terhentak

Ada pengharapan atas esok yang lebih baik,
Ada ketakutan atas kemalangan yang menghadang,
Ada kegalauan jika kematian bersegera datang....

Dan perjalanan kita bisa saja lalu sesat,
dalam rimbunnya rimba kepentingan,
dalam carut marutnya intrik kedengkian...
Dan menunggu memang menyakitkan,
serupa duduk di kursi pesakitan,
sementara detak jarum jam begitu perlahan,
permainkan degub jantung kita....

Pengembaraan kita, adalah nada
rangkaian dari irama telapak kaki yang menghentak bumi,
juga angin yang mengiris helaian rambut mimpi....

Jika lelah datang menggoyah langkah,
bersegeralah mencari cinta untuk teman beristirah.

Cintailah sesaat demi sesaat.

Jumat, 24 Oktober 2014

15 tahun kita di awal tahun 1436 hijriyah

Hidup memang perjalanan. Skemanya sederhana. Dari satu titik ke titik yang lain. Muda lalu tua, kuat lalu melemah, senggang lalu sibuk, hidup lalu mati....

Dan penilaian atas kualitas hidup itu pada prosesnya. Dengan apa kita mengisinya, begitu juga dengan cara bagaimana. Perubahan adalah keniscayaan, tinggal bagaimana kita berubah, dan berubah menjadi apa itu masalahnya. Kesalahan menentukan arah dan cara meraihnya itu bisa menjerumuskan kita dalam duka yang berkepanjangan.

Pesan ini sebenarnya terbaca dalam kisah perjalanan Hijrah Nabi SAW. Alasan hijrah adalah pertahankan eksistensi dakwah, pemilihan kota tujuan adalah berdasar pada pertimbangan panjang dan petunjuk dari Tuhannya. Juga cara berhijrah dengan strategi yang matang. Banyak ibroh dari kisah ini.

Demikian halnya perjalanan pernikahan kita. Usia pernikahan yang ke-15 ini bertepatan dengan 1 Muharom, tahun baru hijriyah. Pernikahan adalah perjalanan. Proses interaksi yang berkelanjutan. Menjadi pasangan hidupmu itu adalah anugrah yang selalu aku syukuri di setiap hari. Bagaimana tidak, jika sampai dengan saat ini aku tak menemukan satu pun alasan untuk mengatakan "sebel" atas apapun yang kau lakukan. Caramu membuatku bahagia demikian tertata dan terencana. Aku sangat menikmatinya.

Namun rasa syukur memilikimu, menimbulkan kekhawatiranku tak dapat membalasnya dengan sepadan. Aku sering tak peka membaca gerak hatimu, sehingga melukaimu tanpa kusengaja. Juga banyak hal yang menjadi harapanmu untukku belum dapat aku lakukan. Hiks....

Padahal 15 tahun, bukanlah waktu yang sebentar. Semestinya buku tentangmu sudah kukhatamkan berulang kali.

Dan di pernikahan ke-15 ini, usiaku jelang ke-40, batas usia penting dalam kehidupan manusia. Mestinya ini usia kematangan, saat yang menentukan. Kesalahan di tahun-tahun ini bisa sangat menentukan di sisa umurku nanti. Karena di usia ini, karakter seseorang sudah semakin sulit untuk diubah.

Dik, hari ini, aku mengucapkan terima kasih yang mendalam atas pelayanan dan perhatian yang luar biasa darimu. Namun di hari ini juga, aku harus mengakui demikian banyak kesalahan dalam menjalani peranku sebagai suami, sebagai kepala keluarga, sebagai imam-mu, karena itu... maafkan aku, sungguh pemberian maafmu aku butuhkan, untuk menjadi energi perbaikan. Harapanku: 15 tahun pernikahan ini, juga 40 tahun hidupku ini menjadi titik tolak perubahan untuk menjadi suami, kepala keluarga, ayah, dan manusia yang lebih baik. Maafkan aku, dik.

25 Oktober 2014- 1 Muharom 1436

Selasa, 21 Oktober 2014

tantangan.

seperti percakapan tentang keberanian,
bahwa mencoba sesuatu itu perlu....
walau terbentur dinding karang "serupa janji".

angin kencang kau lawan, itu buahkan tiupan angin segar
dan rambut berkibaran....
perlawanan memang indah pada akhirnya.

apa yang menjadi energinya?
mungkin tantangan;
serupa pertaruhan yang menyenangkan.

kekalahan yang kuakui,
ternyata bagimu adalah kemenanganku atas ketakutanku.

Agh.

Jumat, 17 Oktober 2014

Sesaat setelah melayat.

Dalam tiga hari ini, ada empat berita duka di sekitar rumahku.

Dan selalu saja, dalam setiap se-saat setelah pergi melayat, aku rindu untuk kembali membaca puisi ini. Puisi tentang kematian yang semakin akrab.

DAN KEMATIAN MAKIN AKRAB
(Sebuah Nyanyian Kabung)
Oleh :
Subagio Sastrowardoyo

...
Di muka pintu masih
bergantung tanda kabung
Seakan ia tak akan kembali
memang ia tak kembali
tapi ada yang mereka tak
mengerti - mengapa ia tinggal diam
waktu berpisah. bahkan tak
ada kesan kesedihan
pada muka
dan mata itu, yang terus
memandang, seakan mau bilang
dengan bangga : - Matiku muda -
Ada baiknya
mati muda dan mengikut
mereka yang gugur sebelum waktunya
Di ujung musim yang mati dulu
bukan yang dirongrong penyakit
tua, melainkan dia
yang berdiri menentang angin
di atas bukit atau dekat pantai
dimana badai mengancam nyawa.
Sebelum umur pahlawan ditanam
di gigir gunung atau di taman-taman
di kota
tempat anak-anak main
layang-layang. Di jam larut
daun ketapang makin lebat berguguran
di luar rencana
Dan kematian jadi akrab, seakan kawan berkelakar
yang mengajak
tertawa - itu bahasa
semesta yang dimengerti -
Berhadapan muka
seperti lewat kaca
bening
masih dikenal raut muka
bahkan kelihatan bekas luka
dekat kening
Ia menggapai tangan
di jari melekat cincin
- Lihat, tak ada batas
antara kita. Aku masih
terikat kepada dunia
karena janji karena kenangan
Kematian hanya selaput
gagasan yang gampang diseberangi
Tak ada yang hilang dalam
perpisahan, semua
pulih
juga angan-angan dan selera
keisengan -
Di ujung musim
dinding batas bertumbangan
dan kematian makin akrab
Sekali waktu bocah
cilik tak lagi
sedih karena layang-layangnya
robek atau hilang
-Lihat, bu, aku tak menangis
sebab aku bisa terbang sendiri
dengan sayap
ke langit -

Rabu, 08 Oktober 2014

something to nothing?

Dari sesuatu menjadi bukan apa-apa. Adalah ungkapan tentang proses kehilangan makna. Entahlah.... mungkinkah hilang? Atau sekedar perubahan wujud? Bukankah air tak lalu hilang saat berubah menjadi uap, lalu menyatu dengan awan, dan pada akhirnya akan kembali turun ke bumi sebagai hujan.

Mungkin tak ada yang lalu moksa, sirna, atau raib.... hanya mengada sebagai wujud yang lain.

Apakah sunyi lalu berubah gaduh itu maka sunyi menepi, memberi ruang pada kegaduhan, atau sunyi dalam wujud lain itu adalah kegaduhan? Sebagai interlude dalam sebuah lagu, selalu ada jeda di setiap birama.

Mungkin juga kita.

Adalah birama yang menyediakan jeda berupa interlude, yang melengkapi irama. Karena bagaimana mugkin ada irama, jika tak ada jeda. Bukankah irama itu rangkaian jeda-jeda yang berulang secara indah.... mungkin indahnya karena pengulangannya serupa dengan detak jantung kita, atau bisa juga karena jeda itu serupa sapuan buih di pantai yang ajeg, atau serupa dengan senyummu yang datang berulang di setiap rangkaian hari?

Mungkin saja ini tentang kita. Tapi entahlah.

terbang

Ayo, aku ajari kau terbang
Tapi mana sayapnya?
Bukankah tak ada terbang tanpa kepakan, dan tak ada kepakan tanpa sayap?
Bagaimana mungkin?

Ayo, percaya sajalah
Terbangnya kita berbeda dg terbangnya unggas, ini tentang mengambang di awan.
Adalah dengan mengisi penuh benak, biarkan hingga menggelembung..... biarkan mimpi menjadi bahan bakar, dan senyap menjadi kepakan sayap.
Cobalah....

Baiklah, kurelakan segenapku padamu....
Hasratku kubiar terkapar dalam harapan palsumu, dan rinduku tergugu tanpa malu. Bisu.

Ayo, segeralah bersiap melayang, karena ruang mulai menghilang...
Dan perkara atas bawah menjadi raib, senyummu....
Senyumku....
Moksa dalam cahaya perak.

Luluh.
Tumbuh.
Tumbuh.
Larut dalam jenuh.
Mempekat.

akar dan tunas Rasa

memerdekakan rasa adalah cela, bagi akal si penguasa
tak ingin rasa yang berjaya
kuasai gerak hati dan isi bumi

lalu ingin basuh jelaga di dahi
tapi enggan usir mimpi
terlalu indah diabai
terlalu mempesona ntuk diratapi

memenjarakan rasa adalah curiga yang abadi
bagi si akal yang pongah
melangkah gagah injak-injak akarnya

dan tunas meronta
tumbuh dan
tumbuh.

Selasa, 07 Oktober 2014

Kopi Sepi

... dan angin berdendang saja di telinga

melangkah adalah kata kerja
yang pantas dilekatkan dalam pagi

karena waktu berloncatan
ide berlinangan menetes saja
menjadi genangan di cawan hari

... dan angin menari di retina mata

menenggak kopi sepi adalah rima
dari cengkerama pagi yang menepi
menjadi parameng kawi mimpi

... dan angin menemani hari di liang sunyi

padahal gempita
padahal cuaca meradang
padahal gemuruh mengeluh

... dan angin aku sapih, kubiarkan dalam lipatan lengan bajuku.

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...