Rabu, 12 Desember 2012

menghalau galau


ada galau dalam palung jiwa
bantu aku menyelam lebih dalam
lalu bersama mencongkel karang, bebaskan galau dari jeratan gurita kegelisahan
menyelam dalam genangan kehangatan tatapanmu
membiarkan kita bersama menjadi belukar
terbawa dalam selokan retina mata kita
meresap ke dalam denyut darah dalam otak kita
aku ingin berfikir denganmu, aku ingin kau berfikir denganku
kita satu dalam cawan kasih
aku ingin merasa dalam rasamu, aku ingin kau merasa dalam rasaku
lalu kepemilikan akan cinta menjadi tak lagi penting
karena rasa telah bersama
untuk apa kembali dipertanyakan
tak ada lagi aku milikmu dan kau milikku...
karena aku ada didalammu, kau ada didalamku
serupa kurva saling mengiris ruang

RUMAH KATA @FACEBOOK


Buru2 itu seperti lagu, iramanya detak jantung kita dan laju detik jam, nadanya harapan untuk bergegas, dg tarikan bas keadaan yg membatasi. (Rumah Kata)

Akan kau beri nama apa kelelahan ini, saat ia mencabuti satu demi satu kesadaran kita, dan letih menggelitiki segenap pori jiwamu...? (Rumah Kata)

Jika waktu itu irama, maka rasa itulah nada. Dan jeda pd birama adalah pertemuan dan perpisahan yg meniscaya dalam hari2 kita (Rumah Kata)

Jika kau pikir ini mudah itu salah, seperti buah khuldi yg tertelan, lalu terlempar ia dr surga penuh fasilitas ke dunia yg terbatas (Rumah Kata)

Saat sibuk dg Apa, Kapan, Dimana, dan Siapa, kita lupa bahwa Bagaimana dan Mengapa belum pula datang duduk bersama di bilik pemahaman. (Rumah Kata)

dan betapa indahnya, hujan pagi mengajarkan pada kita ttg keniscayaan waktu atas harga diri. (Rumah Kata)

dan kawan, aku jadi semakin paham bahwa puisi bagiku seperti air segar pengobat dahaga di tengah kering kerontangnya kenyataan. (Rumah Kata)

Pahlawan adalah mereka yg enggan berbincang ttg imbalan, dan pantang mengambil keuntungan dr derita negeri untuk diiri sendiri. (Rumah Kata)
Pernah iseng aku tuliskan kalimat ini di status facebook-ku:  

"Jika Rindu pada perdu, Kenangan pada genangan hujan, lalu Cinta?", lalu muncul beberapa komentar:
Lilis Arifin W pada pandangan pertama......hehehhee
Imron Ali Saman terus, aku kebagian apa....?
Edhie Prayitno Ige Pada setia...
Kholid Qutub cinta lagi blajar pengucapan bahasa indonesia yang baik dan benar, mas.. hujyan becyek gak ada ojyek..

Selasa, 11 Desember 2012

Belajar Politik

Membaca berita politik belakangan ini terbaca begitu banyak masalah, tumpang tindih. Dan yang menyedihkan adalah jarak antara rakyat dan penguasa yang demikian jauh, kami menyebutnya jurang ketidakpercayaan. Berawal dari jurang ini segala kerusuhan dimulai; demo, korup, penggusuran, laporan dusta, dsb.

Dan yang dapat menghubungkan jurang ketidakpercayaan itu adalah komunikasi yang efektif antara penguasa dan rakyat. Penguasa yang welas asih dan penuh perhatian terhadap kepentingan rakyat, dan rakyat yang penuh prasangka baik terhadap penguasa. "Tsiqoh mutabadilah"  

Dan ketulusan adalah pondasi penting dalam kepemimpinan, tanpa itu ia hanya topeng tanpa nyawa. Semestinya partai politik membangun sistem yang mampu memelihara ketulusan itu tetap ada dalam hati para kadernya saat mereka memimpin. 

Ketulusan memang tak terbaca secara dhahir, namun tanda-tandanya ada. Seperti saat dalam bis kota sesak penumpang, dan ada percikan api di dalamnya, apa yang dia lakukan? Apakah ia sibuk menyelamatkan yang lemah, atau sibuk selamatkan diri? Juga saat hujan deras dan rawan banjir, apakah ia tertidur pulas atau resah khawatirkan tetangganya yang mungkin kena banjir?

Entahlah.....   

Selasa, 04 Desember 2012

Parangkata



Lalu kata atau parang tak jauh beda
Terayun saja membelah jiwa
Berdalih kesadaran menginjak injak nyata dengan duga
Mati saja masih lebih beruntung, dari tersanyat ngilu….
Memanjang di koridor jiwa

Rebahlah saja
Dan rerumputan menghutan
Embun terhirup
Asap, dan teriakan-teriakan anjing
Menguasai segenap sejarah
Jika pedang di tangan, maka pendekar selalu saja merasa lebih kuasa
Menebas ke sisi mana pun
Seolah tak tersisa hak hidup atas lawan
Yang Nampak lawan hanyalah seoonggok daging di kios daging
Yang memang pantas dipotong-potong

Jika kau merayap di rerumputan.
Maka rasakan bumi memelukmu
Dan angin lebih lembut membelai
Biarkan saja
Saat ada yang meludahi
Karena kenyataan indahnya dunia di bawah sana teramat sangat…..
Tak sepadan dengan kehinaan yang mereka tuangkan
Merayaplah saja
Merayaplah terus
Cacing tanah adalah merdeka
Jikapun akhirnya … ada roda yang melindas tubuh
Itu hanya masalah nyawa
Meregang sesaat, toh saat mati selesailah sudah
Maka, jangan ragu, merayaplah saja
Hirup sebanyak mungkin kenangan
Penuhi dada dengannya
Ia menjadi energi dahsyat
Dan kerikil yang meluka seluruh tubuh
Adalah iringan music perih
Jika tak dinikmati, maka sedih sekali komposisi ini..
…….

Senin, 03 Desember 2012

angin....



Angin
Perih di mata
Kerikil terserak
Rumah kerang
Suara laut
Tak ada makna saat tak ada yang beri nama
Setelah bernama, ia “ada”
Tak bisa serta merta di”tiada”kan

Senja, pagi, atau hujan
Aromanya saja sudah berbeda
Karena rahsa kental di seluruh detik detak waktu
Boleh saja kau tekan “ignore”, tapi apa ia lalu tak ada?

Angin
Perih di mata
Sedih menggunung
Kesadaran menabik dari telaga
Kecipak air
Menangislah alam
Menangislah alam
Dusta dikenakan pada jiwa
Padahal ia enggan
Lalu
Menangislah langit
Menangislah langit

Angin
Iya, angin yang menampar sangat keras
Dan darah di hidung
Hanya lantunan syair anyir
Anyir darah sendiri
Penuhi ruang benak
Mati.
Oleh kenangan yang dibungkam duga

Angin
Iya, angin yang bersenandung
Nadanya tenang
Nadanya tenang
Sangat tenang
Karena bisu itu pun nada.

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...