Sabtu, 19 Desember 2009

Bercakap dengan ombak;


Ombak itu seakan mengajak kami berbincang. Deburnya menampar ujung kaki, irama kecipak airnya merdu, seolah kata-kata lembut. Ia bercerita tentang waktu, tentang bintang, tentang kesetiaan pasir putih itu... yang sering kali ia koyak, ia tarik mereka ke tengah laut, sesekali tangan-tangan pasir itu saling berpegangan; erat sekali... namun koyakkan ombak sangatlah kuat. Mereka tercerai. Kadang bukan ombak yang memisahkan mereka, namun kaki-kaki kami para pelancong, yang seenaknya menginjak-injak mereka, sehingga banyak dari butiran pasir itu, dipaksa menempel di kerutan-kerutan kulit kami. Atau mungkin justru tangan-tangan usil kami, yang memang sengaja menggali, dan menimbun... membuat goresan huruf-huruf nama kami, sehingga pasir itu tercerai dari sahabatnya. Dan entah untuk berapa waktu kemudian mereka dapat bertemu lagi.

Ombak juga bertanya pada kami, tentang berapa waktu yang telah kami buang percuma, untuk sekedar memenuhi keinginan mimpi-mimpi kami. Berapa banyak energi yang telah kami curahkan untuk sebuah kata “ingin”. Padahal mungkin, karang itu jalani hari-harinya dengan abaikan keinginan hatinya; untuk terus rela, dipukul berulang kali oleh ombak. Atau riak ombak itu sendiri, manalah ia sempat bicara tentang keinginan, sementara begitu sibuk ia bertugas menyanyi, menciptakan irama, yang terus berulang, mengisi seluruh waktu, mengisi detak hari pada sebuah pantai. Karena tanpa irama riak ombak itu, manalah pantas suatu tempat disebut sebagai “pantai”. Apalagi pasir putih itu, berbaris saja di tepian air, menghiasi pantai; menanti ombak yang akan membawa mereka pergi, atau sol sepatu kami yang mungkin menjadi alat berkendara mereka, untuk meninggalkan pantai ini. Mungkin mereka masih ingin berlama-lama tinggal di sana, namun seorang anak memasukkan mereka dalam botol mainannya, lalu terbawa hingga ke kota. Mungkin saja ada air mata, atau lambaian tangan perpisahan.... atau justru itu tidak sempat mereka lakukan. Karena memang, sudah lama, mereka abaikan kata “ingin” dalam kehidupan mereka. Eh, kehidupan?? Apakah mereka hidup??

Ombak itu memang bercerita kepada kami. Bila mereka tidak bercerita, mengapa begitu banyak pertanyaan dalam isi kepala kami? Dari mana pertanyaan itu? Beberapa bisa saja kami jawab, namun beberapa lagi, tidak; tidak itu bisa karena memang sengaja tidak kami jawab. Karena jika kami paksa menjawabnya, jawaban itu menjadi seperti goresan yang mengganggu pada lukisan indah tentang sebuah pantai. Jawaban itu menjadi serupa tambahan tahi lalat pada wajah gadis yang justru indah tanpa tahi lalat. Karena itu, kami paksa mulut ini terdiam, menahan diri untuk tidak menjawab semua pertanyaan. Karena kami ingin hari ini tetap indah, sedang keindahan hari ini begitu penting, sekali lagi..karena kami hidup memang untuk sibuk melayani satu kata “ingin”.

Dan ombak terus mengajak bercakap-cakap; sampai matahari menegur kami, mengingatkan kami akan waktu yang tidak mau berhenti. Sehingga kami harus beranjak, meninggalkan jejak di punggung pasir, yang sesaat lagi terhapus oleh ombak, dan sayup-sayup terdengar teriakan pasir putih itu, ucapan selamat jalan, untuk kami, dan untuk beberapa butir pasir lain yang terbawa di lipatan celana kami, dan pada kerutan-kerutan kulit kami.

Karang Bolong, 2 Muharom 1431 H.

2 komentar:

  1. terkagum2 darimna asal kata2 itu mengalir terangkai indah dalam satu prosa...seakan ikt merasakan keteduhan di pantai itu..pasti indah!!!

    BalasHapus
  2. hudandito, terima kasih....
    Anonymous, terima kasih, aku berharap suatu saat nanti dapat mengenal-mu... hehehe... lain waktu mungkin dapat ber-komen dengan sebutkan nama... ;)

    BalasHapus

 Akhirnya bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku yang ke-24, terbit buku kumpulan puisiku yang keempat, berjudul "Masalah Tak Perna...